Selasa, 27 Agustus 2019

Kertas dan Karpet Merah_Reski Suci Amelia


        

 Hatinya berdebar debar. Matanya penuh dengan jutaan harapan. Dia duduk sembari memohon kepada tuhan, bahwa dirinya akan disebut sebagai sang juara.
“pemenang, OSN IPA. Juara pertaama. Diraih oleh saudara…. Asse’”              
Sontak, terdengar semarai dari berbagai penjuru. Menyerukan nama anak itu. Dihatinya terbanglah ribuan merpati. Kebahagiaan membuncah di dirinya.
“Sungguh anak yang luar biasa.” Batin salah satu penonton.

                                                                                          ***
Seperti hari-hari sebelumnya, anak itu berkeliling menjajakan cemilan jagung marning dari tempat satu ke tempat yang lain. Hari ini, di saat sang surya baru saja menampakkan sebagian dari dirinya. Anak itu telah bergegas mempersiapkan diri. Bersama dinginnya udara.
Ia melangkah keluar dari rumah  kecilnya di pesisir pantai Bira. Dibukanya pintu kayu yang sudah rapuh dimakan rayap. Deritan terdengar. Wajar saja. Rumahnya hanya terbuat dari susunan papan papan kayu yang sudah reyot. Ditambah lagi  rentetan lumut yang menghiasi setiap sudut dinding rumah, menimbulkan kesan kumuh di tempat itu.
Ia berjalan mengetuk pintu dari rumah satu ke rumah yang lain untuk menjual jagung marningnya dengan semangat yang menggebu-gebu. Orangtuanya telah meninggal akibat kecelakaan saat ia duduk di kelas empat SD. Hal ini membuat ekonomi keluarganya kian hari kian melarat. Sampai sampai ketiga kakaknya depresi berat, putus sekolah, dan menjadi sampah masyarakat. Hanya dirinyalah yang masih bisa bersekolah. Mumpung sekolahnya di SD tidak memungut biaya apapun.
Walau jagung marning yang ia jual tak laris semuanya, setidaknya hal ini bisa sedikit membantu ekonomi keluarganya. Ia terus berjalan, berjalan, dan berjalan.
Bahkan hingga siang ia setia berkeliling menjajakan jagung marning. Ia tidak peduli dengan teriknya matahari yang menusuk ubun-ubun. ia tidak pernah menyerah. ia terus berjalan hanya demi mendapatkan sesuap nasi saja. Entah kenapa ketika Asse’ dipertemukan dengan kesulitan hidup, ia tidak pernah mengeluh dan selalu tersenyum manis, seolah-olah tidak ada beban pada dirinya. ia hanya tidak ingin orang lain mengetahui sisi kelam dalam hidupnya.
Tak terasa, langit yang biru telah mengembara menjadi warna oranye. Dengan keringat yang bercucuran, Asse’ memutuskan untuk menyudahi kegiatannya hari ini. Walaupun masih tersisa beberapa bungkus jagung marning yang tidak laku.
Kemudian ia merogoh saku celananya. Didapatinya beberapa lembar uang seribu dan dua ribuan, serta beberapa keping uang recehan hasil kerjanya hari ini. Walau sedikit, ia tetap bersyukur kepada yang maha kuasa.
 Asse’ lalu melangkahkan kakinya menuju ke rumah. Di tengah perjalanan, ia disambut oleh riuh kendaraan yang lalu lalang kesana kemari. Asap yang keluar dari knalpot kendaraan, terhirup olehnya. Dadanya berasa sesak. Dilihatnya beberapa orang anak kecil yang dengan girangnya berlarian kesana kemari. Sangat bahagia. Adapula sebagian dari mereka yang berjalan bergandengan bersama kedua orangtuanya.
“andai aku bisa seperti mereka.” Batin Asse’

Asse’ pun mempercepat langkahnya pulang ke rumah. Didengarnya deburan ombak dan kicauan burung. Ia berjalan menuju sumber suara itu. Sampailah ia ditempatnya tinggal. Ia melangkah masuk. Didorongnya pintu kayu itu. Ia masuk dan melihat kakak tertuanya sedang duduk santai di ruang tamu yang hanya berisikan dua kursi plastik berwarna hijau.
“assalamualaikum..” Sapa Asse’
“Asse bagaimana hasil penjualannya?” tutur sang kakak
“Alhamdulillah lancar kak. Walaupun masih ada beberapa bungkus sisa.” Ujar Asse’
“kamu dapat uangnya berapa?”
“ada dua puluh ribu kak.”
“kalau begitu, berikan lima belas ribunya padaku. Sebentar malam aku mau main judi dengan teman gang sebelah.”
“ta.. tapi kak, untuk perlengkapan sekolahku besok bagaimana?” Tanya Asse’
“halahh… lima ribu kan sudah cukup. Beli satu buah buku tipis dan pensil.”
“tapi aku membutuhkan peralatan yang lebih dari itu!”
“sudah! Pergi sana! Berikan lima belas ribunya. Urusan berjudiku lebih penting darimu!”
Asse’ yang mendengarnya hanya bisa menangis dalam diam. Di hati kecilnya ia hanya bisa bersabar dan terus bersabar. Ia ingin bisa seperti semua temannya. Hanya bisa tertawa sepanjang hari. Tidak seperti hari harinya yang bagai serpihan tak bermakna. Esok adalah hari senin. Cerita yang baru akan dimulai.
Esok hari ia harus masuk ke kelas, dan belajar seperti biasa. Ia harus berhadapan dengan berbagai materi yang dengan sekuat tenaga harus ia masukkan ke dalam otaknya.
Langit menjadi gelap. Hitam. Angin berhembus sangat kencang. Bulan bulat penuh mengantung dengan bintang bintang bersama dinginnya malam. Asse sedang terbaring di atas kasurnya yang sudah  mengusang. Ia menggelayut dalam lamunan tanpa tepi. Ia membayangkan bagaimana nasibnya suatu saat nanti jika ingin melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMP. Sedangkan ia tidak punya biaya apapun untuk membayar biaya pendaftaran SMP. Air berwarna bening pun menganak sungai dari kedua kelopak matanya. Ia tak tahu. Gelisah. Sedih. Air itu tak ingin berhenti keluar. Dadanya sesak. Pipinya basah.
Kantuk yang teramat dahsyat pun tiba tiba menerpanya. Akhirnya ia tertidur bersama mimpi yang ia gantungkan setinggi langit.
Esok hari pun tiba. Asse’ bangun dari tidurnya pagi sekali. Ia melampaui matahari. Ia mempersiapkan segala keperluannya. Memasukkan semua buku dan peralatan sekolahnya kedalam sebuah tas kumal yang dibelinya tiga tahun lalu. Dengan langkah yang pasti, ia berjalan menyusuri jalanan yang masih sepi. Berhubung dengan hari yang masih pagi.
Sesampainya di sekolah, ia disambut dengan senyum manis Pak Satpam. Ia pun melangkahkan kakinya menuju sebuah ruangan. Tak lain dan tak bukan, ruangan itu merupakan ruangan kelasnya.
“kelas masih sepi.” Batinnya.
Ia duduk di pojok belakang sebelah kiri di kelas. Ia hanya temangu dan entah apa yang ia pikirkan. Sembari ia hanyut dalam renungannya. Satu persatu siswa dan siswi lain mulai datang memenuhi seisi kelas. Suara riuh terdengar. Dan akhirnya bel masuk kelas pun berbunyi.
KRINGGG… KRING.. KRIINGGGG…
Setelah beberapa lama. Guru mata pelajaran pun masuk. Asse’ tetap menatap lurus kedepan. Tatapannya kosong. Ia sedang memikirkan sesuatu. Sesuatu yang dianggapnya tak dapat ia gapai. Sesuatu yang akan menunjang kehidupannya suatu saat nanti.
Sekonyong konyong kemudian, guru mata pelajaran membuyarkan lamunan Asse. Wajar, bila Asse terkejut. Matanya mendelik. Tiba tiba ia memukul meja. Semua orang kaget. Namun setelah itu, Asse kembali duduk. Diam. Kembali buliran air jatuh dari matanya. Orang orang keheranan melihat sikap Asse yang tidak biasa.
Tanpa pikir panjang. Ibu guru yang sedari tadi masuk dikelas, memulai pelajaran. Tanpa mempertanyakan apakah ada yang salah dari Asse. Selama pelajaran berlangsung, ia hanya bisa diam. Termenung.
Akhirnya setelah semua mata pelajaran usai. Asse pulang. Tak ada satupun materi yang ia ingat di sekolah. Ada gemuruh di dalam dadanya. Namun entah apa artinya. Ia pulang. Melangkahkan kaki dengan wajah yang masam. Pun dengan langkah yang gontai. Tak lama berselang. Didengarnya deru ombak dan kicauan burung. Tempatnya bernaung sudah dekat. Dilihatnya hamparan pasir yang lebih putih dari warna. Kemudian, didapatinya sebuah bangunan berukuran empat kali empat meter yang terbuat dari deretan papan kayu. Juga dengan atap yang hanya tersusun dari daun pisang yang telah berlubang disana sini. Ini tempatnya.
Asse masuk ke tempat itu tanpa mengetuk pintu. Tak biasa. Matanya sendu. Dilangkahkannya kakinya kedalam sebuah ruagan berisi Kasur tanpa dipan. Kasur itu sudah usang. Pula berdebu. Langsung saja ia rebahkan tubuhnya diatas Kasur itu.
Tak lama lagi, tepatnya satu minggu lagi. Ujian nasional akan berlangsung. Ada rasa senang dalam diri Asse. Tapi, disisi lain ada pula rasa sedih yang menyergapnya. Ia senang karena telah mneyelesaikan sekolah dasarnya. Ia sedih. Ia tak tahu harus melanjutkan pendidikan dimaana. Sangat jarang sekolah yang tidak memungut biaya apapun dari siswanya.  Ia tak tahu harus mencari biaya dimana.
Kemudian ia pejamkan matanya. Gelap. Ternyata ia tertidur. Tapi, beberapa saat kemudian seseorang mengguncangkan tubuhnya. Ternyata ialah sang kakak.
“asse, asse! Bangun.”
“ahh.. sebentar lagi kak.” Gumam Asse
“cepat bangun. Ada sesuatu yang penting. Seseorang mengirim surat yang ditujukan untuk dirimu. Gambar amplop surat tersebut ialah gambar logo sekolah yang ada di kota. Sekolah yang terkenal itu.” Tutur kakak Asse.

Asse yang mendengar hal ini kaget. Sebuah surat?. Berlogokan sekolah terkenal? Ia pun melompat dari Kasurnya. Diraihnya sebuah amplop kecil ditangan sang kakak. Dilihatnya logo di amplop itu. SMP Unggul. Sebuah sekolah ternama di kota. Kemudian ia menyobek ujung dari amplop tersebut. Dilihatnya lipatan kertas berwarna biru muda. Dikeluarkannya kertas itu kemudian ia baca.
“ kepada ananda yang terhormat. Saudara Asse. Kami dari pihak SMP Unggul, mengundang ananda untuk mengikuti tes penerimaan peserta didik baru di sekolah kami. Semua biaya pendaftaran dan tes ditanggung oleh pihak sekolah. Tes nya akan dilaksanakan setelah UN berlangsung.Ananda adalah salaah satu dari calon peserta didik yang direkomendasikan oleh pimpinan sekolah. Melihat prestasi ananda disekolah yang sangat luar biasa.” Isi dari lipatan kertas tersebut.
Mata Asse terbelalak. Tak percaya. Jutaan kunang kunang seakan terbang kesana kemari di bola matanya. Ia diundang untuk mengikuti tes penerimaan siswa baru di SMP Unggul. Air mukanya yang masam langsung saja berubah cerah. Sebuah pelangi terlukis di wajahnya. Membentuk lengkungan yang begitu indah.
Setelah menerima surat tersebut, Asse kembali menjalani hari harinya dengan ceria. Besok adalah hari pertama Ujian Nasional. Dengan hati yang dihiasi oleh sang mentari, Asse menjalani Ujian Nasionalnya dengan suka cita.
Ia berharap bahwa, Ujian Nasional nya akan cepat berlalu. Ia tak sabar ingin mengikuti tes penerimaan siswa baru tersebut.
 Tak terasa, tiga hari ujian nasional telah usai. Pagi itu seperti biasa, Asse membuka matanya. Menghirup segarnya udara. Ini dia, hari yang ditunggu tunggunyaa. Ia mengambil tas sekolah kesayangannya. Dimasukannya sebuah pulpen dan sebuah buku. Ia siap. Kemudian ia mengambil uang yang selama ini ia tabung sedkit demi sedikit. Ia pergi. Hanya meninggalkan secarik kertas permintaan restu kepada kakak kakaknya. Ia pun melangkah keluar. Ia menengadahkan kepalanya. Melihat cakrawala. Mimpinya tak lama lagi akan ia gapai.
Ia pun berjalan. Awalnya hanya aspal yang ia temui. Namun lama kelamaan ia menjumpai jalanan penuh bebatuan. Letih. Tapi ia begitu semangat, sampai melupakan semua beban yang ada dalam dirinya. Tak lama kemudian, ia kembali menemui jalanan dengan warna hitam. Kendaraan berlalu lalang diatasnya. Ia ingat. Ia membawa uang. Terfikir olehnya untuk  mencari angkot. Berhubung kedua kakinya sudah tak sanggup lagi berjalan, dan juga ia tak tahu arah di tempat ini.
Di dalam angkot, pak supir bertanya. Kemanakah kamu hendak pergi? Asse menjawab bahwa ia minta tolong diantarkan ke SMP Unggul. Pak supir hanya mengangguk menandakan setuju. Asse pun diantar ke tempt itu. Selama perjalanan Asse hanya menggelayut dalam lamunan. Memikirkan dirinya. Akan menjadi orang yang seperti apa nantinya.
Tibalah ia di pintu gerbang SMP Unggul. Melihat pintu gerbang tersebut, mata Asse memancarkan berjuta kebahagiaan. Ini adalah tempatnya. Ini takdirnya. Ia pun mealngkah masuk ke sekolah itu. Dilihatnya tempat tersebut dipadati dengan anak sebaya nya. Yang tentunya juga ingin bersekolah disitu. Dengan langkah yang penuh percaya diri, ia mencari ruang tata usaha. Setelah ia temukan, ia masuk dan memperlihatkan surat yang tempo hari didapatkan oleh dirinya. Setelah petugas tata usaha melihat surat tersebut. Asse langsung saja dibawa ke sebuah ruangan. Ruangan tempat dia akan menentukan nsibnya. Ia disodorkan beberapa lembar kertas. Ia mengerjakannya dengan lancar. Ia tahu apa yang harus ditorehkannya di kertas itu. Awalnya ia tidak yakin bahwa ia bisa.
Namun degan prinsip bisa itu bukan karena orang lain mengatakan bahwa kita bisa. Bisa sebenarnya tergantung pada keyakinan dirimu sendiri. Asse mengerjakan semua yang terpampang dimatanya dengan keyakinan penuh.
Setelah selesai, dikumpulkannya kepada pengawas ruangan. Kata pengawas tersebut, tunggu satu jam saja dan hasilnya akan diumumkan. Asse lantas saja menuruti apa yang dikatakan oleh orang itu. Ia duduk sembari menunggu pengumuman.
Satu jam kemudian pengumuman telah tertempel di majalah dinding sekolah. Seluruh anak anak yang berada di sekolah itu kemudian bergerombol seperti semut kelaparan mengelilingi papan pegumuman tersebut.
Tak disangka, nama Asse tertera di urutan paling pertama dengan nilai tertinggi. Sesegera mungkin ia memberitahukan hal ini kepada petugas Tata Usaha. Ia juga minta tolong agar dikabarkan kepada keluarganya di kampung. Ia sudah bisa mulai bersekolah besok. Kebetulan SMP Uggul ini adalah sekolah berasrama. Ia pun sudah diberikan seragam sekolah yang lengkap oleh petugas tata usaha. ia juga sudah diberikan kunci kamar berangkakan 201 jadi ia putuskan untuk langsung masuk saja ke asramanya.
Ia kemudian melankahkan kaki ke gedung asrama. Didapatinya bangunan berwarna cream dan coklat dengan dua tingkatan. Sangat megah. Dicarinya kamar berrnomorkan 201. Dapat. Ia kemudian membuka kuncinya. Hawa dingin dari AC langsung sajan menerpa sekujur tubuhnya. Sebuah kamar berisikan sebuah Kasur besar nan empuk. Diatas Kasur terdaapat dua buah bantal guling, srta sebuah selimut tebal. Disampingnya terdapat meja belajar berwarna coklat tua dengan dua susun rak penyimpanan buku. Dan juga tepat didepan ranjang terdapat sebuah televisi besar. Kamarnya sangat luas.
 Sekonyong konyong kemudian Asse langsung saja masuk dan merebahkan tubuhnya yang diselimuti letih diatas Kasur tersebut.
Besok hari pertamanya bersekolah. Ia membayangkan hari harinya sekarang dan esok akan diiringi oleh jutaan kepakan sayap kupu-kupu. Gelap. Ia tertidur. Bersama lamunan.
Mentari menerpa bumi. Melewati celah jendela besar di sebelah kiri ranjang tempat Asse tidur. Seberkas cahaya pun menerpa wajah Asse yang masih kasat kusut. Asse lalu mengerjap ngerjapkan matanya. Dilhatnya jam dinding berbentuk bulat dan berwarna putih. Pukul 06.00 pagi. Sudah pagi? Asse seketika melompat dari kasurnya. Satu jam lagi kelas pertamanya akan dimulai. Ia berjalan dengan agak terhuyung huyung. Membersihkan dirinya. Kemudian memakai seragam SMP Unggul. Keluar dari kamar. Kemudian berjalan menuju ke gedung sekolah.
Ia mencari namanya di setiap ruangan. Ternyata ia masuk di kelas 7.1. kelas dambaan semua orang. Ia melangkah masuk. Dan sudah didapatinya beberapa orang siswa dengan wajah asing. Teman baru. Ia pun duduk dengan manis. Tak sekadar duduk, ia pun membaca sebuah buku novel guna menunggu kedatangan wali kelasnya.
Tak lama kemudian, wali kelas yang ditunggu datang. Memperkenalkan dirinya. Dan juga seperti biasanya, satu persatu murid disuruh untuk memperkenalkan dirinya. Pada setelah Asse memperkenalkan diri. Terdengar bisikan dari segala penjuru kelas. Mereka semua membisikkan tentang Asse. Sang peraih nilai tes tertinggi di penerimaan siswa baru.
Sejak hari pertama dan seterusnya, Asse menjad siswa yang menonjol dikelasnya. Ia aktif dalam menjawab semua pertanyaan yang diberikan oleh guru. Dan juga sering sekali ia di ikutkan lomba, terutama OSN IPA. Dan setiap lomba yang ia ikuti itu, pastinya mendapat juara pertama. Tidak pernah tidak. Hal ini membuat namanya terkenal di sekolah, dan juga dirinya selalu saja dipuji oleh para guru guru. Namu berkat ketenarannya ini, menjadikan dirinya sebagai anak yang sombong. Setiap ada temannya yang bertanya pada dirinya. Ia selalu saja menolak untuk menjawab. Dan di ikuti dengan terlontarnya kata kata pedas dari mulutnya.
Higga suatu hari, temannya yang beranma Rio, yang dikenal sebagai anak pendiam di kelas, meminta bantuan kepada Asse untuk mengerjakan soal fisika. Asse yang ditanya tentang hal itu hanya diam. Ia tak bergeming sedikitpun. Namun, Rio dengan polosnya tetap memaksakan kehendaknya untuk minta diajari fiska. Tapi tetap sama. Asse tak bergeming. Rio tetap memaksakan. Hingga Asse meluapkan semua kemarahannya, ia membanting meja. Dan satu pukulan telak ia berikan tepat di perut Rio. Rio terbatuk. Batuk darinya berbuah darah. Kemudian tubuhnya lunglai,dan rebah di lantai kelas.
Salah satu penghuni kelas yang menyaksikan langsung kejadain itu, lantas saja dengan cekatan melapor ke guru BK dan petugas keseahatan sekolah. Rio langsung saja di boyong ke rumah sakit oleh mobil sekolah. Sedangkan di kelas, entah mengapa. Air berwarna bening seperti Kristal luruh dari mata Asse yang merah. Ia menyesal. Entah kenapa ia melakukan hal itu. Tangannya bergerak sendiri. Ia berdiri. Kaku. Sendiri. Semua orang menatapnya dengan tatapan kengerian.
Sesaat kemudian seorang guru laki laki berbadan kekar menarik tubuh Asse. Ia dibawa ke sebuah ruangan paling mematikan di sekolah itu. Lewat didepannya saja sudah membuat bulu merinding. Ruangan itu tertutup. Semua orang takut akan dibawa kesana. Namun kali ini takdir yang memilih Asse untuk masuk ke tempat itu. Ruangan yang jarang sekali terpakai. Sesampainya didepan pintu ruangan tersebut, air mata Asse makin menjadi jadi. Namun mulutnya tak mengeluarkan suara. Lidahnya kelu.Tenggorokannya kering. Kedua kakinya gemetaran. Sekonyong konyong kemudian pntu ruangan tersebut terbuka. Dingin. Hawa dingin yang disebabkan oleh karena pendingin ruangan yang terus saja dibiarkan menyala. Ruangan itu kosong. Tidak berisi. Hanya sebuah karpet merah yang digelar diatas lantai. Asse disuruh duduk di atas karpet itu. Menunggu keputusan.
Asse hanya bisa menurut, tak ada jalan keluar. Tak lama kemudian dtanglah seseorang membawa secarik kertas. Asse disuruh untuk membaca isi kertas tersebut. Dengan tangan yang gemetar ia membacanya. Dadanya sesak. Putus sudah harapannya. Ia akan kembali ke titik awal. Kau tahu kan rasanya kembali ke awal itu bagaimana? Setelah kau berjuang dan semuanya terulang? Sakit pastinya.
Setelah membacanya, Asse hanya bisa memendam amarah dan sedih. Bukan. Bukan pada matahari yang mengintai hdupnya hari ini. Bukan pula pada awan yang menjadi saksi atas kepiluannya. Ia marah, ia sedih. Entah kepada siapa. Oh itu ternyata pada dirinya sendiri. Mengapa ia melakukan hal itu? Mengapa?
***
Ia kembali menjadi orang yang sama dengan dirinya yang dulu. Harapannya telah pecah berkeping keping. Impian yang ia juntai, lalu putus berderai.  Menjadi anak yang setiap hari bangun pagi hanya untuk berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain. Ia kembali dibawa angin. Bersama badai. Menghancurkan dan sakit. Tempatnya memulai. Walau ada rasa tak rela. Ia menyesal. Namun kepada siapa lagi ia harus menyesali semuanya.

 Finalis Lomba Menulis Cerpen Bahasa Indonesia
FLS2N Tingkt Nasional di Manado, 2016



Tidak ada komentar:

Posting Komentar