Hatinya
berdebar debar. Matanya penuh dengan jutaan harapan. Dia duduk sembari memohon
kepada tuhan, bahwa dirinya akan disebut sebagai sang juara.
“pemenang, OSN IPA. Juara pertaama.
Diraih oleh saudara…. Asse’”
Sontak,
terdengar semarai dari berbagai penjuru. Menyerukan nama anak itu. Dihatinya
terbanglah ribuan merpati. Kebahagiaan membuncah di dirinya.
“Sungguh
anak yang luar biasa.” Batin salah satu penonton.
***
Seperti
hari-hari sebelumnya, anak itu berkeliling menjajakan cemilan jagung marning dari tempat satu ke
tempat yang lain. Hari ini, di saat
sang surya baru saja menampakkan sebagian dari dirinya. Anak itu telah bergegas
mempersiapkan diri. Bersama dinginnya udara.
Ia
melangkah keluar dari rumah kecilnya di
pesisir pantai Bira.
Dibukanya pintu
kayu yang sudah rapuh dimakan rayap. Deritan terdengar. Wajar saja. Rumahnya
hanya terbuat dari susunan papan papan kayu yang sudah reyot. Ditambah
lagi rentetan lumut yang menghiasi setiap
sudut dinding rumah, menimbulkan kesan kumuh di tempat itu.
Ia
berjalan mengetuk pintu dari rumah satu ke rumah yang lain untuk menjual jagung
marningnya dengan semangat yang menggebu-gebu. Orangtuanya telah meninggal
akibat kecelakaan saat ia duduk di kelas empat SD. Hal ini membuat ekonomi
keluarganya kian hari kian melarat. Sampai sampai ketiga kakaknya depresi
berat, putus sekolah, dan menjadi sampah masyarakat. Hanya dirinyalah yang
masih bisa bersekolah. Mumpung sekolahnya di SD tidak memungut biaya apapun.
Walau
jagung marning yang ia jual tak laris semuanya, setidaknya hal ini bisa sedikit
membantu ekonomi keluarganya. Ia terus berjalan, berjalan, dan berjalan.
Bahkan
hingga siang ia setia berkeliling menjajakan jagung marning. Ia tidak peduli dengan teriknya
matahari yang menusuk ubun-ubun. ia tidak pernah menyerah. ia terus berjalan
hanya demi mendapatkan sesuap nasi saja. Entah kenapa ketika Asse’ dipertemukan
dengan kesulitan hidup, ia tidak pernah mengeluh dan selalu tersenyum manis,
seolah-olah tidak ada beban pada dirinya. ia hanya tidak ingin orang lain mengetahui
sisi kelam dalam hidupnya.
Tak
terasa, langit yang biru telah mengembara menjadi warna oranye. Dengan keringat
yang bercucuran, Asse’ memutuskan untuk menyudahi kegiatannya hari ini.
Walaupun masih tersisa beberapa bungkus jagung marning yang tidak laku.
Kemudian
ia merogoh saku celananya. Didapatinya beberapa lembar uang seribu dan dua
ribuan, serta beberapa keping uang recehan hasil kerjanya hari ini. Walau
sedikit, ia tetap bersyukur kepada yang maha kuasa.
Asse’ lalu melangkahkan kakinya menuju ke
rumah. Di tengah perjalanan, ia disambut oleh riuh kendaraan yang lalu lalang
kesana kemari. Asap yang keluar dari knalpot kendaraan, terhirup olehnya.
Dadanya berasa sesak. Dilihatnya beberapa orang anak kecil yang dengan
girangnya berlarian kesana kemari. Sangat bahagia. Adapula sebagian dari mereka
yang berjalan bergandengan bersama kedua orangtuanya.
“andai
aku bisa seperti mereka.” Batin Asse’
Asse’
pun mempercepat langkahnya pulang ke rumah. Didengarnya deburan ombak dan
kicauan burung. Ia berjalan menuju sumber suara itu. Sampailah ia ditempatnya
tinggal. Ia melangkah masuk. Didorongnya pintu kayu itu. Ia masuk dan melihat
kakak tertuanya sedang duduk santai di ruang tamu yang hanya berisikan dua kursi plastik berwarna hijau.
“assalamualaikum..”
Sapa Asse’
“Asse
bagaimana hasil penjualannya?” tutur sang kakak
“Alhamdulillah
lancar kak. Walaupun masih ada beberapa bungkus sisa.” Ujar Asse’
“kamu
dapat uangnya berapa?”
“ada
dua puluh ribu kak.”
“kalau
begitu, berikan lima belas ribunya padaku. Sebentar malam aku mau main judi
dengan teman gang sebelah.”
“ta..
tapi kak, untuk perlengkapan sekolahku besok bagaimana?” Tanya Asse’
“halahh…
lima ribu kan sudah cukup. Beli satu buah buku tipis dan pensil.”
“tapi
aku membutuhkan peralatan yang lebih dari itu!”
“sudah!
Pergi sana! Berikan lima belas ribunya. Urusan berjudiku lebih penting darimu!”
Asse’
yang mendengarnya hanya bisa menangis dalam diam. Di hati kecilnya ia hanya
bisa bersabar dan terus bersabar. Ia ingin bisa seperti semua temannya. Hanya
bisa tertawa sepanjang hari. Tidak seperti hari harinya yang bagai serpihan tak
bermakna. Esok adalah hari senin. Cerita yang baru akan dimulai.
Esok
hari ia harus masuk ke kelas, dan belajar seperti biasa. Ia harus berhadapan
dengan berbagai materi yang dengan sekuat tenaga harus ia masukkan ke dalam
otaknya.
Langit
menjadi gelap. Hitam. Angin berhembus sangat kencang. Bulan bulat penuh mengantung
dengan bintang bintang bersama dinginnya malam. Asse sedang terbaring di atas kasurnya yang sudah mengusang. Ia menggelayut dalam lamunan tanpa
tepi. Ia membayangkan bagaimana nasibnya suatu saat nanti jika ingin
melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMP. Sedangkan ia tidak punya biaya apapun
untuk membayar biaya pendaftaran SMP. Air berwarna bening pun menganak sungai
dari kedua kelopak matanya. Ia tak tahu. Gelisah. Sedih. Air itu tak ingin
berhenti keluar. Dadanya sesak. Pipinya basah.
Kantuk
yang teramat dahsyat pun tiba tiba menerpanya. Akhirnya ia tertidur bersama
mimpi yang ia gantungkan setinggi langit.
Esok
hari pun tiba. Asse’ bangun dari tidurnya pagi sekali. Ia melampaui matahari.
Ia mempersiapkan segala keperluannya. Memasukkan semua buku dan peralatan
sekolahnya kedalam sebuah tas kumal yang dibelinya tiga tahun lalu. Dengan
langkah yang pasti, ia berjalan menyusuri jalanan yang masih sepi. Berhubung
dengan hari yang masih pagi.
Sesampainya
di sekolah, ia disambut dengan senyum manis Pak Satpam.
Ia pun melangkahkan kakinya menuju sebuah ruangan. Tak lain dan tak bukan,
ruangan itu merupakan ruangan kelasnya.
“kelas
masih sepi.” Batinnya.
Ia
duduk di pojok belakang sebelah kiri di kelas. Ia hanya temangu dan entah apa
yang ia pikirkan. Sembari ia hanyut dalam renungannya. Satu persatu siswa dan
siswi lain mulai datang memenuhi seisi kelas. Suara riuh terdengar. Dan
akhirnya bel masuk kelas pun berbunyi.
KRINGGG…
KRING.. KRIINGGGG…
Setelah
beberapa lama. Guru mata pelajaran pun masuk. Asse’ tetap menatap lurus
kedepan. Tatapannya kosong. Ia sedang memikirkan sesuatu. Sesuatu yang
dianggapnya tak dapat ia gapai. Sesuatu yang akan menunjang kehidupannya suatu
saat nanti.
Sekonyong
konyong kemudian, guru mata pelajaran membuyarkan lamunan Asse. Wajar, bila
Asse terkejut. Matanya mendelik. Tiba tiba ia memukul meja. Semua orang kaget.
Namun setelah itu, Asse kembali duduk. Diam. Kembali buliran air jatuh dari
matanya. Orang orang keheranan melihat sikap Asse yang tidak biasa.
Tanpa
pikir panjang. Ibu guru yang sedari tadi masuk dikelas, memulai pelajaran.
Tanpa mempertanyakan apakah ada yang salah dari Asse. Selama pelajaran
berlangsung, ia hanya bisa diam. Termenung.
Akhirnya
setelah semua mata pelajaran usai. Asse pulang. Tak ada satupun materi yang ia
ingat di sekolah. Ada
gemuruh di dalam dadanya.
Namun entah apa artinya. Ia pulang. Melangkahkan kaki dengan wajah yang masam. Pun dengan langkah yang gontai. Tak
lama berselang. Didengarnya deru ombak dan kicauan burung. Tempatnya bernaung
sudah dekat. Dilihatnya hamparan pasir yang lebih putih dari warna. Kemudian,
didapatinya sebuah bangunan berukuran empat kali empat meter yang terbuat dari
deretan papan kayu. Juga dengan atap yang hanya tersusun dari daun pisang yang
telah berlubang disana sini. Ini tempatnya.
Asse
masuk ke tempat itu tanpa mengetuk pintu. Tak biasa. Matanya sendu.
Dilangkahkannya kakinya kedalam sebuah ruagan berisi Kasur tanpa dipan. Kasur
itu sudah usang. Pula berdebu. Langsung saja ia rebahkan tubuhnya diatas Kasur
itu.
Tak
lama lagi, tepatnya satu minggu lagi. Ujian nasional akan berlangsung. Ada rasa
senang dalam diri Asse. Tapi, disisi lain ada pula rasa sedih yang
menyergapnya. Ia senang karena telah mneyelesaikan sekolah dasarnya. Ia sedih.
Ia tak tahu harus melanjutkan pendidikan dimaana. Sangat jarang sekolah yang
tidak memungut biaya apapun dari siswanya.
Ia tak tahu harus mencari biaya dimana.
Kemudian
ia pejamkan matanya. Gelap. Ternyata ia tertidur. Tapi, beberapa saat kemudian
seseorang mengguncangkan tubuhnya. Ternyata ialah sang kakak.
“asse,
asse! Bangun.”
“ahh..
sebentar lagi kak.” Gumam Asse
“cepat
bangun. Ada sesuatu yang penting. Seseorang mengirim surat yang ditujukan untuk
dirimu. Gambar amplop surat tersebut ialah gambar logo sekolah yang ada di
kota. Sekolah yang terkenal itu.” Tutur kakak Asse.
Asse
yang mendengar hal ini kaget. Sebuah surat?. Berlogokan sekolah terkenal? Ia
pun melompat dari Kasurnya. Diraihnya sebuah amplop kecil ditangan sang kakak.
Dilihatnya logo di amplop itu. SMP Unggul. Sebuah sekolah ternama di kota.
Kemudian ia menyobek ujung dari amplop tersebut. Dilihatnya lipatan kertas
berwarna biru muda. Dikeluarkannya kertas itu kemudian ia baca.
“
kepada ananda yang terhormat. Saudara Asse. Kami dari pihak SMP Unggul,
mengundang ananda untuk mengikuti tes penerimaan peserta didik baru di sekolah
kami. Semua biaya pendaftaran dan tes ditanggung oleh pihak sekolah. Tes nya
akan dilaksanakan setelah UN berlangsung.Ananda adalah salaah satu dari calon
peserta didik yang direkomendasikan oleh pimpinan sekolah. Melihat prestasi
ananda disekolah yang sangat luar biasa.” Isi dari lipatan kertas tersebut.
Mata
Asse terbelalak. Tak percaya. Jutaan kunang kunang seakan terbang kesana kemari
di bola matanya. Ia diundang untuk mengikuti tes penerimaan siswa baru di SMP
Unggul. Air mukanya yang masam langsung saja berubah cerah. Sebuah pelangi
terlukis di wajahnya. Membentuk lengkungan yang begitu indah.
Setelah
menerima surat tersebut, Asse kembali menjalani hari harinya dengan ceria.
Besok adalah hari pertama Ujian Nasional. Dengan hati yang dihiasi oleh sang
mentari, Asse menjalani Ujian Nasionalnya dengan suka cita.
Ia
berharap bahwa, Ujian Nasional nya akan cepat berlalu. Ia tak sabar ingin
mengikuti tes penerimaan siswa baru tersebut.
Tak terasa, tiga hari ujian nasional telah
usai. Pagi itu seperti biasa, Asse membuka matanya. Menghirup segarnya udara.
Ini dia, hari yang ditunggu tunggunyaa. Ia mengambil tas sekolah kesayangannya.
Dimasukannya sebuah pulpen dan sebuah buku. Ia siap. Kemudian ia mengambil uang
yang selama ini ia tabung sedkit demi sedikit. Ia pergi. Hanya meninggalkan
secarik kertas permintaan restu kepada kakak kakaknya. Ia pun melangkah keluar.
Ia menengadahkan kepalanya. Melihat cakrawala. Mimpinya tak lama lagi akan ia
gapai.
Ia
pun berjalan. Awalnya hanya aspal yang ia temui. Namun lama kelamaan ia
menjumpai jalanan penuh bebatuan. Letih. Tapi ia begitu semangat, sampai
melupakan semua beban yang ada dalam dirinya. Tak lama kemudian, ia kembali
menemui jalanan dengan warna hitam. Kendaraan berlalu lalang diatasnya. Ia
ingat. Ia membawa uang. Terfikir olehnya untuk
mencari angkot. Berhubung kedua kakinya sudah tak sanggup lagi berjalan,
dan juga ia tak tahu arah di tempat ini.
Di
dalam angkot, pak supir bertanya. Kemanakah kamu hendak pergi? Asse menjawab
bahwa ia minta tolong diantarkan ke SMP Unggul. Pak supir hanya mengangguk
menandakan setuju. Asse pun diantar ke tempt itu. Selama perjalanan Asse hanya
menggelayut dalam lamunan. Memikirkan dirinya. Akan menjadi orang yang seperti
apa nantinya.
Tibalah
ia di pintu gerbang SMP Unggul. Melihat pintu gerbang tersebut, mata Asse
memancarkan berjuta kebahagiaan. Ini adalah tempatnya. Ini takdirnya. Ia pun
mealngkah masuk ke sekolah itu. Dilihatnya tempat tersebut dipadati dengan anak
sebaya nya. Yang tentunya juga ingin bersekolah disitu. Dengan langkah yang
penuh percaya diri, ia mencari ruang tata usaha. Setelah ia temukan, ia masuk
dan memperlihatkan surat yang tempo hari didapatkan oleh dirinya. Setelah
petugas tata usaha melihat surat tersebut. Asse langsung saja dibawa ke sebuah
ruangan. Ruangan tempat dia akan menentukan nsibnya. Ia disodorkan beberapa
lembar kertas. Ia mengerjakannya dengan lancar. Ia tahu apa yang harus
ditorehkannya di kertas itu. Awalnya ia tidak yakin bahwa ia bisa.
Namun
degan prinsip bisa itu bukan karena orang lain mengatakan bahwa kita bisa. Bisa
sebenarnya tergantung pada keyakinan dirimu sendiri. Asse mengerjakan semua
yang terpampang dimatanya dengan keyakinan penuh.
Setelah
selesai, dikumpulkannya kepada pengawas ruangan. Kata pengawas tersebut, tunggu
satu jam saja dan hasilnya akan diumumkan. Asse lantas saja menuruti apa yang
dikatakan oleh orang itu. Ia duduk sembari menunggu pengumuman.
Satu
jam kemudian pengumuman telah tertempel di majalah dinding sekolah. Seluruh
anak anak yang berada di sekolah itu kemudian bergerombol seperti semut
kelaparan mengelilingi papan pegumuman tersebut.
Tak
disangka, nama Asse tertera di urutan paling pertama dengan nilai tertinggi.
Sesegera mungkin ia memberitahukan hal ini kepada petugas Tata Usaha. Ia juga
minta tolong agar dikabarkan kepada keluarganya di kampung. Ia sudah bisa mulai
bersekolah besok. Kebetulan SMP Uggul ini adalah sekolah berasrama. Ia pun
sudah diberikan seragam sekolah yang lengkap oleh petugas tata usaha. ia juga
sudah diberikan kunci kamar berangkakan 201 jadi ia putuskan untuk langsung
masuk saja ke asramanya.
Ia
kemudian melankahkan kaki ke gedung asrama. Didapatinya bangunan berwarna cream
dan coklat dengan dua tingkatan. Sangat megah. Dicarinya kamar berrnomorkan
201. Dapat. Ia kemudian membuka kuncinya. Hawa dingin dari AC langsung sajan
menerpa sekujur tubuhnya. Sebuah kamar berisikan sebuah Kasur besar nan empuk.
Diatas Kasur terdaapat dua buah bantal guling, srta sebuah selimut tebal. Disampingnya
terdapat meja belajar berwarna coklat tua dengan dua susun rak penyimpanan buku.
Dan juga tepat didepan ranjang terdapat sebuah televisi besar. Kamarnya sangat
luas.
Sekonyong konyong kemudian Asse langsung saja
masuk dan merebahkan tubuhnya yang diselimuti letih diatas Kasur tersebut.
Besok
hari pertamanya bersekolah. Ia membayangkan hari harinya sekarang dan esok akan
diiringi oleh jutaan kepakan sayap kupu-kupu. Gelap. Ia tertidur. Bersama
lamunan.
Mentari
menerpa bumi. Melewati celah jendela besar di sebelah kiri ranjang tempat Asse
tidur. Seberkas cahaya pun menerpa wajah Asse yang masih kasat kusut. Asse lalu
mengerjap ngerjapkan matanya. Dilhatnya jam dinding berbentuk bulat dan
berwarna putih. Pukul 06.00 pagi. Sudah pagi? Asse seketika melompat dari
kasurnya. Satu jam lagi kelas pertamanya akan dimulai. Ia berjalan dengan agak
terhuyung huyung. Membersihkan dirinya. Kemudian memakai seragam SMP Unggul.
Keluar dari kamar. Kemudian berjalan menuju ke gedung sekolah.
Ia
mencari namanya di setiap ruangan. Ternyata ia masuk di kelas 7.1. kelas
dambaan semua orang. Ia melangkah masuk. Dan sudah didapatinya beberapa orang
siswa dengan wajah asing. Teman baru. Ia pun duduk dengan manis. Tak sekadar
duduk, ia pun membaca sebuah buku novel guna menunggu kedatangan wali kelasnya.
Tak
lama kemudian, wali kelas yang ditunggu datang. Memperkenalkan dirinya. Dan
juga seperti biasanya, satu persatu murid disuruh untuk memperkenalkan dirinya.
Pada setelah Asse memperkenalkan diri. Terdengar bisikan dari segala penjuru
kelas. Mereka semua membisikkan tentang Asse. Sang peraih nilai tes tertinggi
di penerimaan siswa baru.
Sejak
hari pertama dan seterusnya, Asse menjad siswa yang menonjol dikelasnya. Ia
aktif dalam menjawab semua pertanyaan yang diberikan oleh guru. Dan juga sering
sekali ia di ikutkan lomba, terutama OSN IPA. Dan setiap lomba yang ia ikuti
itu, pastinya mendapat juara pertama. Tidak pernah tidak. Hal ini membuat
namanya terkenal di sekolah, dan juga dirinya selalu saja dipuji oleh para guru
guru. Namu berkat ketenarannya ini, menjadikan dirinya sebagai anak yang
sombong. Setiap ada temannya yang bertanya pada dirinya. Ia selalu saja menolak
untuk menjawab. Dan di ikuti dengan terlontarnya kata kata pedas dari mulutnya.
Higga
suatu hari, temannya yang beranma Rio, yang dikenal sebagai anak pendiam di
kelas, meminta bantuan kepada Asse untuk mengerjakan soal fisika. Asse yang
ditanya tentang hal itu hanya diam. Ia tak bergeming sedikitpun. Namun, Rio
dengan polosnya tetap memaksakan kehendaknya untuk minta diajari fiska. Tapi
tetap sama. Asse tak bergeming. Rio tetap memaksakan. Hingga Asse meluapkan
semua kemarahannya, ia membanting meja. Dan satu pukulan telak ia berikan tepat
di perut Rio. Rio terbatuk. Batuk darinya berbuah darah. Kemudian tubuhnya
lunglai,dan rebah di lantai kelas.
Salah
satu penghuni kelas yang menyaksikan langsung kejadain itu, lantas saja dengan
cekatan melapor ke guru BK dan petugas keseahatan sekolah. Rio langsung saja di
boyong ke rumah sakit oleh mobil sekolah. Sedangkan di kelas, entah mengapa.
Air berwarna bening seperti Kristal luruh dari mata Asse yang merah. Ia
menyesal. Entah kenapa ia melakukan hal itu. Tangannya bergerak sendiri. Ia
berdiri. Kaku. Sendiri. Semua orang menatapnya dengan tatapan kengerian.
Sesaat
kemudian seorang guru laki laki berbadan kekar menarik tubuh Asse. Ia dibawa ke
sebuah ruangan paling mematikan di sekolah itu. Lewat didepannya saja sudah
membuat bulu merinding. Ruangan itu tertutup. Semua orang takut akan dibawa
kesana. Namun kali ini takdir yang memilih Asse untuk masuk ke tempat itu.
Ruangan yang jarang sekali terpakai. Sesampainya didepan pintu ruangan
tersebut, air mata Asse makin menjadi jadi. Namun mulutnya tak mengeluarkan
suara. Lidahnya kelu.Tenggorokannya kering. Kedua kakinya gemetaran. Sekonyong
konyong kemudian pntu ruangan tersebut terbuka. Dingin. Hawa dingin yang
disebabkan oleh karena pendingin ruangan yang terus saja dibiarkan menyala.
Ruangan itu kosong. Tidak berisi. Hanya sebuah karpet merah yang digelar diatas
lantai. Asse disuruh duduk di atas karpet itu. Menunggu keputusan.
Asse
hanya bisa menurut, tak ada jalan keluar. Tak lama kemudian dtanglah seseorang
membawa secarik kertas. Asse disuruh untuk membaca isi kertas tersebut. Dengan
tangan yang gemetar ia membacanya. Dadanya sesak. Putus sudah harapannya. Ia
akan kembali ke titik awal. Kau tahu kan rasanya kembali ke awal itu bagaimana?
Setelah kau berjuang dan semuanya terulang? Sakit pastinya.
Setelah
membacanya, Asse hanya bisa memendam amarah dan sedih. Bukan. Bukan pada
matahari yang mengintai hdupnya hari ini. Bukan pula pada awan yang menjadi
saksi atas kepiluannya. Ia marah, ia sedih. Entah kepada siapa. Oh itu ternyata
pada dirinya sendiri. Mengapa ia melakukan hal itu? Mengapa?
***
Ia
kembali menjadi orang yang sama dengan dirinya yang dulu. Harapannya telah
pecah berkeping keping. Impian yang ia juntai, lalu putus berderai. Menjadi anak yang setiap hari bangun pagi
hanya untuk berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain. Ia kembali dibawa
angin. Bersama badai. Menghancurkan dan sakit. Tempatnya memulai. Walau ada
rasa tak rela. Ia menyesal. Namun kepada siapa lagi ia harus menyesali
semuanya.
Finalis Lomba Menulis Cerpen Bahasa Indonesia
FLS2N Tingkt Nasional di Manado, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar