Boarding Story #39
Aqila Qurrota Aini
Nadine kini tinggal bersama seorang kakak laki laki dan seorang kakak
perempuan setelah kedua orang tuanya meninggal. Abangnya bernama Nadir
sedangkan kakaknya bernama Nadira. Mereka kembar. Sekarang keduanya sudah
selesai menempuh pendidikan dan sudah bekerja.
Nadir bekerja sebagai pilot sehingga ia jarang pulang ke rumah.
Nadine kagum padanya karena Nadir bisa keliling dunia dengan gratis, malah,
ia yang dibayar. Sedangkan Nadira yang menggeluti hobi memasak kini telah
berhasil membuat cake shop. Tokonya pun sudah bercabang di beberapa daerah. “Nana
cake shop“ namanya. Nama tersebut diambil dari 2 huruf awal 3 bersaudara yang
sama semua.
Nadine memiliki sahabat sejak kecil, namanya Haidar. Sejak PAUD, TK, SD,
SMP, SMA, bahkan kini sudah duduk di bangku kuliah mereka tetap bersama. satu
sekolah, rumah pun tetanggaan. Di dalam dunia kuliah pun mereka satu fakultas,
satu jurusan. Maka mereka terus bersama.
Bagaimana tidak bosan kalau ketemu setiap hari?
Bahkan tak jarang, teman
teman kuliah lain mengira mereka pacaran. Mereka selalu melontarkan
ucapan, “Kalian pacaran ya?” “Masa’ si ga pacaran? Deket banget gitu kok.” “Ga
mungkin ga ada rasa si kan ya?” “Ga percaya aing, wong kalian nempel terus loh
itu.” dan masih banyak lagi yang lainnya.
Mereka sampai pusing harus
menanggapi bagaimana. Padahal mereka sudah jujur bahwa mereka tidak ada
hubungan apa apa. Hanya sebatas sahabat dari kecil. Namun tetap saja orang
orang tidak percaya dan malah mengklaim Nadine dan Haidar itu memiliki hubungan
namun “backstreet” agar tidak ada yang mengetahuinya.
Hari ini, Nadine mendapat
tugas dari salah satu dosen mata kuliahnya. Kelasnya ditugaskan untuk membuat
laporan tentang fenomena sekolah berasrama.
Mereka disuruh mencatat, mewawancarai dan membuat laporan. Laporan
tersebut yang akan mereka presentasikan. Lagi dan lagi, mereka di pertemukan semesta.
Nadine dan Haidar berada dalam satu kelompok.
“Aih kau lagi, kau lagi.” keluh
Nadine.
“Haha, saya juga malas sama kau
kali.” ujar Haidar sambil memutar bola matanya lalu mereka tertawa bersama.
Jam kuliah mereka telah selesai.
Kini mereka berada di kantin untuk mengisi perut berhubung sudah jam makan
siang.
“Mau apa? Nanti saya yang
pesankan. Kau cari tempat duduk lah sana.”
“Mie ayam mo saya deh. Es
teh juga nah.” Haidar mengangguk lantas mereka berpisah.
Cukup lama Nadine menunggu
barulah Haidar datang,
“Antriannya panjang
banget.”
“Iya rame, kan jam makan
siang.”
Mereka berdua pun
menyantap makan siangnya. Nadine mulai membuka topik tentang project matkul
mereka.
“Kau tau tidak dimana kita
harus pergi?”
Haidar tidak langsung
menjawab, ia mencoba mengunyah isi mulutnya dulu kemudian menelannya. “Entah?
Tapi pernah ka dengar ada sekolah keren di Bone. Ada samanya di sini.”
“Hah? Yang mana?”
“Yang di bawah naungan Pak
Jusuf Kalla kalo tidak salah. Coba kau cari.”
Nadine segera mengeluarkan ponselnya
lalu mencari.
“Athirah, Dar, bentar saya search
Athirah yang di Bone.”
“Bagus ini we. Ke sini mi
saja deh.” Haidar mengangguk.
“Punya ka teman di Bone
deh kayanya. Nanti ku
hubungi buat tempat nginap.”
***
Hari Kamis malam Nadine dan Haidar berada di rumah masing masing
mulai menyiapkan segala kebutuhan untuk ke Bone esok hari. Jum’at pukul 05.30
selepas sholat subuh, Nadine berpamitan kepada kakaknya lalu ke rumah Haidar
membawa barangnya.
Ketika ia keluar rumah, sudah terlihat Haidar dan beberapa teman
yang lain sudah bersiap. Rombongan berkumpul di rumah Haidar karena akan
berangkat ke Bone dengan menggunakan mobilnya. Nadine pun ikut masuk ke rumah untuk
pamit kepada orang tua Haidar terlebih dahulu.
Kini pukul 06.00. Setelah memastikan barang dan kebutuhan lain
telah aman masuk ke dalam mobil, mereka pun mulai tancap gas menuju ke Bone.
Memerlukan perjalanan sekitar lima jam untuk sampai di sana.
Kini sudah jam 09.15. Mereka cukup lambat karena sempat berhenti di beberapa
tempat, serta sedikit mendapat macet.
Kini mereka telah sampai di tempat yang ditunjukkan temannya.
Sebuah rumah kecil dengan bunga bunga di halaman.
***
Siang hari pun datang. Setelah
mencari tahu letak Sekolah Islam Athirah Bone, Nadine dan Haidar mulai menuju
ke sana. Perjalanan cukup lama, ternyata tempat mereka menginap cukup jauh dari
sekolah tersebut. Tapi tak apa. “Sekalian jalan jalan ngeliat liat sini” kata
Nadine.
Telah sampai lah mereka di sini. Gapura Sekolah
Islam Athirah Bone tercetak jelas di bagian depan halaman sekolah yang sangat
luas. Satpam yang berada di pos begitu
ramah menyapa.
Mobil masuk ke dalam hingga berhenti di area
parkir. Jika Haidar tidak salah menyangka. Mereka terus berjalan hingga sampai
di depan masjid. Mereka juga disambut
seorang siswa seumuran dengan adiknya yang SMP.
“Assalamualaikum kak.”
“Waalaikumsalam. Eh dek bisa minta
tolong ngga? Ini asramanya dimana ya?”
“Oh itu di sana,” remaja itu
menunjuk ke sebelah kiri,
“itu asrama putri kak. setelah
terus, tinggal naik saja di tanjakan yang itu.” Nadine mengangguk paham.
“Kalau asrama putra di situ,”
tangannya beralih menghadap lurus,
“lurus aja disini pokoknya terus
sampai dapat bangunan di ujung sana.” Haidar pun mengangguk paham.
“Kalau gedung sekolah
dimana?”
Pandangannya beralih ke
kanan. Kemudian laki laki itu menunjuk lurus,
“itu gedung SMP, di
depannya gedung SMA.” Haidar mengangguk kemudian berterima kasih.
“Kita ke sekolah saja deh kayanya.
Setauku ada pembina yang sekarang jadi guru. Info dari temenku itu. Anak anak juga belum
pulang tuh. Sekolah sampe sore kan? Kau catat ni. Nanti kita mencari terus kau
tanya hal hal mendasar kayak tahun dibangun, asal usul dibangun, apa cerita
menarik, dll. Kita angkat yang tentang angkatan pertama saja. Waktu baru masuk.
Terus Wahyu tanya soal keadaan waktu itu. Kan belum lama dibangun
tuh. Sama Ratna nanti cari juga cerita yang
menarik. Jadi kita pegang masing masing 1 cerita menarik dari mereka.” Haidar
kembali memberi instruksi.
Kini mereka telah berada di gedung sekolah.
Mereka memilih datang ke gedung SMP. Mereka membagi 2 mulai mewawancarai guru
satu persatu.
Haidar dan timnya memilih
ruang kepala sekolah. Ia kini duduk di hadapan kepala sekolah ber name tag
Nuraeni.
“Mohon maaf mengganggu
waktunya. Jadi saya dari UNHAS bu. Dapat tugas buat laporan tentang sekolah
ini. Rencana tema yang mau saya angkat itu tentang asrama nya Athirah Bone
waktu angkatan pertama. Info yang saya dapat, ibu dulunya salah satu pembina
asrama pada waktu itu. Bisa saya bincang bincang dengan ibu?”
“Oh, Silakan, Dek,‘’ Ibu
Eni membalas dengan senyuman lalu mengangguk.
“Athirah Bone didirikan tahun berapa bu?”
“2011.”
“Saat itu, pembina asrama yang tinggal bahkan
sampai sekarang atau mungkin sekarang jadi guru itu siapa siapa bu?”
“Waktu itu ehm, ada saya,
Pak Syamsul, Pak Erwin, Maam Eva, Bu Evi, Ustadz Tasman, Ustadz Irwan, Bu
Marni, Pak Dani, Maam Ayu, Ustadz Agus, Bu Cida, Pak Basri. Lumayan banyak dek,
“
Ooh iya bu, Waktu awal, ini
bangunan sudah jadi kah bu?”
“Belum sepenuhnya nak. Bahkan siswa pun sedikit
sekali. Maklum masih awal-awal.”
Haidar mengangguk, “Menurut ta ada cerita
menarik selama ki jadi pembina asrama bu?”
“Ehm… Ada seingat saya
waktu itu. Ada siswa yang galau, tidak bisa bertahan di asrama, sampai setiap
mau tidur dicampa-campa kayak anak kecil, masih galau juga, minta kembali ke
rumah di cenrana, kami juga lakukan kunjungan rumah ke sana, begitu baik lagi
perasaannya, kembali lagi kekolah. Tiba lagi galaunya, minta lagi kembali ke
rumah, sampai sampai di antar ke rumah keluarga nya yg kebetulan tinggal di
samping sekolah, yg hanya dibatasi pagar. Bapak almarhum kepala sekolah pak h.
Zuhri wail bersama saya dan beberapa guru lainnya terpaksa harus merangkak
hampir merayap di bawah tembok pagar sekolah untuk menyeberang ke rumah
keluarga siswa tersebut.
Bgitu besar usaha kami, tapi tetap siswa
tersebut tdk mampu bertahan.” Diakhir cerita Ibu Eni terlihat tertawa mengingat moment tersebut.
Haidar pun ikut tertawa.
Selesai, kini Haidar
berpamitan keluar. Ia telah mencatat segala hal penting. Selepas mengucapkan
terima kasih dan salam, Haidar pun keluar dari ruangan tersebut.
Di sisi lain, Nadine sedang berada di ruang
kantor guru, sepertinya. Karena di ruangan tersebutlah ada banyak guru.
Berdasarkan info yang dia dapat, ia akan mendatangi seorang bernama Maam Ayu.
Setelah ia menemukannya melalui name tag Rahayu,
ia mulai mendatangi orang tersebut.
Sama halnya dengan Haidar, Nadine meminta izin
terlebih dahulu. Dengan welcome, Maam Ayu mengizinkan.
“Ibu, saya dengar dengar,
waktu awal itu belum ada siswa. Jadi siswa masuk itu kapan? Angkatan pertama
dimulai tahun berapa?”
“Tahunnya itu sama nak. Bedanya bulan. Kami
masuk itu bulan Maret sedangkan siswa masuk bulan Juli.”
“Bagaimana dulu keadaannya bu? Kan belum
sepenuhnya jadi ini semua gedung. Jadi mereka tinggal dimana? Baru ada berapa
gedung?”
“Untuk putri di gedung
skolah. Waktu itu baru 1 gedung yg ada. Gedung SMP yg ini. Yang ditempati
belajar. Sedangkan putranya di rumah ukir. Setelah gedung SMA selesai dibangun,
disitu semua siswa siswi tinggal di gedung SMP. Putri di sayap kiri, yang
sekarang jadi kelas 7 & 8. Sedangkan putranya di sayap kanan, yang sekarang
jadi kelas 9 & lap komputer juga lap IPA. Mereka hanya di batasi ruang BK
saja. Dulu ruang BK itu juga ditempati pembina, guru, dan lain lain. Ruang BK
yang sekarang itu dulunya kamar guru putri dan pembina asrama putri. Kalau
pembina asrama dan guru putra itu gabung sama putranya.” jelas Maam Ayu panjang
lebar. Aku terus fokus mendengarkan dan sesekali mencatat.
“Menurut ibu, ada tidak
cerita yang tidak bisa ibu lupakan dari angkatan 1?”
“Ada, solidaritas mereka
sangat kental waktu itu. Yang tidak pernah dilupa itu saat terbuka wktu
pemesanan untuk belanja keperluan siswa. Merek semua list kemudian setelah kami
membeli barang saatnya mereka mengambil masing masing sesuai pesanan. Lucunya,
setiap belanja pasti ada saja barang yang kelebihan. Lumayan banyak, untungnya
ada yang mau menampung barang itu. Biasa juga guru yang ambil karena pembina
sudah pusing mau di bagaimana kan. Hal yg unik jg, mereka itu kreatif. Walaupun
terbatas secara fasilitas tapi mereka bisa menghibur diri sendiri dengan
olahraga, membuat pentas seni, pentas drama. Kerennya lagi mereka membuat tidak
bosan. Saking kerennya mereka. Mereka bisa bikin kita lupa dengan kesedihan dan
kebosanan berada di asrama. Mereka juga punya kelebihan masing masing jadi mereka saling melengkapi.
Tidak ada kata egois
ataupun bersaing sama sekali. Keren mereka. Sekarang yang susah dicari itu
solidaritas. Makanya biasa saya kangen anak anak angkatan 1 hahahha.”
Nadine ikut tertawa.
Cerita itu sangat lucu baginya. Ia ikut kagum. Setelah itu ia pun mulai pamit
dan tak lupa mengucapkan salam dan terima kasih. Lantas ia pun keluar juga dari
ruangan itu.
Di luar, Nadine melihat Haidar yang telah
menunggunya. Mereka pun mulai berjalan kembali ke area parkiran untuk pulang.
Bertepatan dengan waktu pulang siswa siswi, maka
mereka bertemu dengan banyak orang. Nadine dan Haidar terus membalas salam,
senyum dan sapaan dari mereka. Sangat lucu, mereka sangat ramah.
Kini mereka sudah berada
di mobil.
“Nanti sampe rumah istirahat saja dulu deh,
cape.” ujar Nadine dengan tampang lesu.
Haidar mengangguk, “nanti mampir mini market
dulu, tidak? Beli cemilan.”
Mata Nadine membulat lantas ia kembali riang. Ia
merasa energinya terisi ketika mendengar kata cemilan, “MAUU.”
“Halah, giliran gitu aja cepet.” ketus Haidar
yang dibalas kekehan oleh Nadine.
Mereka memasuki rumah dengan membawa 2 kantong
berisi cemilan juga makanan. Mereka menyiapkan mie untuk makan esok hari. Biar
hemat katanya.
“Besok jalan jalan
aja apa ya?? Nanti saya cari tempat yang bisa didatangi disini. Malamnya kerja
laporan. Asik asikan dulu sebelum pulang.”
“Iyaa.”
Keesokan hari datang dengan cepat, pagi pagi Nadine sudah siap. Ia masih
menunggu Haidar yang masih berada di kamarnya, Haidar masih bersiap siap.
Tak lama, Haidar pun keluar lantas mereka langsung
meluncur pergi ke tujuan.
Mereka tidak memiliki
motor disini jadi mereka mengganti nama SUNMORI (Sun Morning Ride) menjadi
SUNMODRI (Sun Morning Drive).
Waktu terus berjalan. Kini mereka sedang berada
di dala mobil yang terparkir di dekat sawah. Mereka sedang mengamati sunset.
Susah mendapatkan seperti ini di Makassar maka mereka memanfaatkan kesempatan.
Mereka kembali sebentar untuk mengambil bahan
laporan. Mereka mengerjakannya di luar atas usul Nadine. Ia ingin
mengerjakannya di rumput rumput sambil melihat bulan katanya.
Selesai mengerjakan laporan, mereka mendengar
musik sambil bernostalgia masa masa kecil mereka. Sangat lucu.
Tengah malam, mereka
pulang ke rumah. Langsung terlelap karena kelelahan.
Keesokan paginya, hari minggu. Saatnya pulang.
Mereka pulang agak siangan karena terlambat bangun di tambah belum membereskan
apa pun. Sarapan pun hanya memakan mie instant agar tidak semakin telat sampai.
Mereka harus mempersiapkan kembali presentasi untuk esok hari di kampus.
Perjalanan diisi dengan tidurnya Nadine di dalam
mobil, Haidar yang berkendara. Serta lagu One Direction, Taylor Swift dan lagu
lagu random lainnya yang terputar melalui sambungan bluetooth hp Nadine.
Ketika telah
berada di kota Maros, Nadine terbangun dan merasa lapar. Ia mulai merengek
kepada Haidar.
Haidar yang sudah merasa biasa dengan tingkah Nadine yang begini pun mencoba
mendiamkannya, “udah diem dulu. Nanti sampe Makassar kita ke mekdi. Ku beliin
mcflurry. Tu lagu kesukaan mu. Nyanyi lah.”
Lagu Enchanted-Taylor Swift terputar. Nadine pun bernyanyi, sesekali Haidar
mengikuti. Mereka terlihat sangat asik ketika lagu Perfect-One Direction mulai
terputar. Hari hari yang menyenangkan.
Keesokan harinya di kampus, mereka mulai mempresentasikan hasil yang mereka
dapatkan kemarin. Mulai dari hal mendasar, keadaan saat itu, sampai cerita dari
Bu Eni dan Maam Ayu pun mereka paparkan.
Tak sedikit dari
teman mereka yang kagum. Mereka cukup penasaran bahkan berkata akan mengunjungi
Sekolah Islam Athirah Bone suatu saat. Presentasi yang luar biasa ucap sang
dosen.
Dengan ucapan terima kasih, Nadine dan Haidar pun mengakhiri presentasi laporan
mereka. Mereka tidak menyesal sama sekali datang ke sekolah keren dengan
berjuta rahasia di dalamnya. Serta sejarah lama
yang begitu menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar