Oleh: Abisar
Bintang-bintang
bertaburan di langit Panyula. Bulan tersenyum memandang khusyuknya
santri-santri di Athirah menunaikan kewajiban malam, Salat Isya berjamaah.
Santri putra, santriwati, guru, kepala sekolah, karyawan, pembina asrama,
satpam sampai tukang kebun semuanya menghadapkan wajahnya.Semuanya sujud pasrah
di hadapan Allah, Rabb Sekalian alam semesta.
Dari kejauhan
tampak seorang santri berlari di selasar, diikuti sosok lelaki bersarung, lari
sekelebatan. Keduanya akhirnya bisa dihentikan, dihadang satpam sekolah, Pak
Pabbetongi. Tepat di depan pintu
gerbang, Ustad Agus urung berjamaah bersama sekalian warga pondok. Ia beradu
kuat bersama Pak Pabbetongi, menahan pintu gerbang pondok agar tidak jebol
dibobol Alif, santri baru yang bersikeras ingin pulang ke rumahnya.
“Mau ka Pulang. Huuu... huuuu.. Mau
ka Pulang....huuuu.” Isak Alif sambil menggoyang-goyang pintu besi.
Sesekali, bocah 12
tahun itu menendang apa saja yang ada di depannya, tidak terkecuali teralis
pagar besi yang tetap saja kokoh, tak bergeming meski digoyang raung tangis Alif
yang memaksa agar dipulangkan ke rumahnya.
“Ciat, iyak, aik,” Pekik Ustad Agus
dan Pak Pabbetongi menghindari benda-benda yang melayang ke arahnya hasil
tendangan membabi buta Alif.
Mulai dari kertas,
bebatuan, sampai tempat sampah di belakang pos satpam melayang. Dua karyawan
Sekolah Islam Boarding Athirah ini hanya bisa mengelak sambil membujuk Alif
agar mau kembali ke asrama dan bergabung bersama rekan-rekannya.
“Ayo’ mi, nak! Kembali’ maki di
asrama. Ndak capek ki itu? Ayo’mi. Nanti besok saya antar ki. Tidak ada mobil
kalau malam-malam begini.”Ujar Ustad Agus sambil sesekali mencoba membelai
kepala Alif, namun selalu saja gagal karena tendangan-tendangan kaki kecil Alif juga mencoba meraih sarung ustad, yang baru
sebulan menikah itu.
Akhirnya, raungan
itu mereda tatkala Bu Ayu datang menghampiri tiga sejoli tersebut sepulang dari
salat isya. Alif lalu menghambur ke pelukan Bu Ayu yang juga wali kelasnya di
sekolah. Selamatlah Ustad Agus dan Pak Satpam.
“Kenapaki begitu,nak?”
“aih, ndak malu ki itu diliat sama teman-temanta
nanti?” Bujuk Bu Ayu sambil mengusap kepala santri yang baru tiga hari ditinggalkan orang tua dan
rombongan orang sekampung untuk bersekolah berasrama tersebut.
“Huuuuhuuu.. mau ka pulang, Bu?”
Rengek Alif lagi.
“Iya, iya, nanti kita telepon Ibu’ta,
di Enrekang, ya? Biar Alif dijemput” sambut Bu Ayu.
Malam itu dunia
kembali tentram. Alif kembali ke lantai dua ranjang di kamarnya untuk
menyambung asa bahwa Ia akan dijemput, pulang ke Enrekang. Berkumpul bersama
ibu, ayah, dan adik-adiknya.
“Kriiiing....Kriing.....”
bel asrama menjerit berkali-kali. Tepat pukul 03.45. dini hari. Tanda bahwa
semua warga asrama harus beranjak dari pulau kapuk menyaingi ayam jantan
menyambut pagi. Semua santri bergegas ke kamar mandi mengantri dengan tertib
agar tidak terlambat mengikuti salat tahajjud berjamaah. Tidak terkecuali Alif.
Ustad Kholis yang kebetulan piket hari itu memijit-mijit lembut ibu jari
kakinya agar bangun dan beranjak untuk bersiap ikut salat tahajjud berjamah.
Meski dengan
langkah gontai dan terhuyung-huyung karena masih mengantuk. Alif akhirnya mampu
menyelesaikan lima rakaat salat tahajjud dengan witir. Berjalan ke musala untuk
salat subuh dan mengikuti kelas tahfidz. Meski dengan mata membengkak, ustad
supriadi yang bertugas di kelas tahfidz sengaja tidak bertanya pada Alif karena
sudah tahu penyebabnya.
Pagi itu langit
cukup cerah. Mentari tersenyum manis, semanis langkah Alif yang mengiringinya
ke sekolah. Rahmat, Siswa kelas X yang juga teman sekamarnya, menemani Alif
bersama tiga rekan lainnya. Rombongan-rombongan kecil lainnya mengikut dari
belakang. Mereka menyambut pagi yang cerah, menyongsong masa depan di sekolah
berasrama.
Pagi itu, Jam
pertama pelajaran di kelas yang mengisi adalah Pak Kholis.
“Attention,,,” Pekik Sandi, Ketua
Kelas VII Ar Rahim Mengomandoi siswa yang lain.
“Ready,,,,” jawab siswa-siswa yang
lain dengan pekikan yang tidak kalah kuat.
Setelah memberi salam,
mengumandangkan yel-yel kelas. Semua siswa kelas VII Ar Rahim bersiap menerima
materi bahasa indonesia dari sosok lelaki berbadan tambun tersebut.
“Baik anak-anak, hari ini kita ada
agenda ulangan harian, ya? Tentang materi terakhir kemarin” Tanya Pak Kholis
mengawali materinya.
“Siap Pak.” Jawab anak-anak serentak,
kecuali Alif yang melongo melihat teman di kanan dan kirinya.
“Tapi, nanti, ya! Di jam kedua aja.
Bapak akan mengulang dulu materi terakhir tentang ‘kalimat langsung dan kalimat
tidak langsung’.” Kata Guru yang aslinya berasal dari Jawa Timur tersebut.
“Ingat, ya! Kalimat langsung itu
cirinya menggunakan tanda petik, dan bila akan diubah menjadi kalimat tidak
langsung, kalian harus memerhatikan kata kerja tindakannya, dan juga kata ganti
untuk pelakunya. Ayo, sekarang coba kalian perhatikan! Bapak mau nge tes kalian
dulu.” Urai panjang Pak Kholis.
Satu persatu siswa
kelas VII Ar Rahim naik ke depan mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh Pak
Kholis. Ada yang berhasil, tetapi tidak sedikit juga yang menemui kegagalan.
Semua siswa antusias mengangkat tangan, mencoba menjawab soal-soal bahasa
indonesia yang menantang dari guru yang senang menggunakan pin yang
berbeda-beda di dadanya, setiap hari setiap ia masuk mengajar.
Alif terkagum-kagum
melihat kelas yang begitu bersemangat dan melihat betapa teman-temannya
menikmati salah dan benar saat mengerjakan soal-soal tersebut. Ia akhirnya
dengan wajah tersipu memberanikan diri mengangkat tangan.
“Alif bisa?” tanya Pak Kholis dengan
alis mata yang sedikit naik.
“hehehe,,, mau ka juga mencoba juga,
Pak” Jawab Alif dengan gaya tutur khas Enrekangnya, dimana bunyi “e” yang
seharusnya dibaca seperti pada bunyi Telur tetapi dibaca “e” pada“Meja”.
Jadinya seperti gaya bicara si poltak dari medan.
Ternyata jawaban
yang Alif torehkan di papan tulis hampir benar. Membuat Ia tambah semangat
menyimak penjelasan dari Pak Kholis terkait perbaikan dari jawabannya yang
salah.
Kertas-kertas
putih berisi soal ulangan bahasa indonesia itu akhirnya terbagi juga. Alif
tertegun melihat 20 soal yang terdiri atas 15 pilihan ganda dan 5 nomor soal
esai itu.
“Pak, yang nomor 6 ini bagaimana ya?”
tanya Alif.
“Ow,, itu tentang struktur teks
deskripsi. Alif ndak masuk ya, kemarin”
“hehehe, Iya, Pak. Saya lagi sibuk.
Sedang galau, Pak.” Ujar Alif dengan wajah memerah.
Sontak semua temannya tertawa
mendengar pengakuan polos Alif.
“Makanya,, kalau Alif mau galau,
sesuaikan dulu sama rosternya. Kalau besok ulangan, galaunya hari itu ditunda
dulu, ya?hehehehe” canda Pak Kholis yang diikuti tawa teman sekelas Alif.
Alif hanya bisa tertunduk lesu sambil
berharap keberuntungan menaunginya, mengingat 15 nomor soal yang diberikan
dalam bentuk pilihan ganda.
Sepulang salat
Ashar, Alif memilih bermain bulu tangkis untuk mengisi jadwal olahraga sorenya.
Di tempat lain, tampak ada siswa dan guru
yang sedang bermain futsal di lapangan basket. Ada juga siswa yang bermain
voli, joging, sampai berlatih bela diri. Di Athirah Boarding School memang
disediakan banyak pilihan olahraga yang bisa santri-santrinya pilih untuk
mengisi waktu di sore hari.
Penat bermain
tepok bulu, Alif menuju kantin sekolah untuk mengambil air minum. Mengobati
dahaganya. Setiap sore, kantin sekolah menyediakan minuman sirup susu dingin
untuk semua anak yang berolahraga. Pun untuk siswa-siswa yang mengikuti les
sore, bedanya adalah, untuk siswa yang mengikuti les sore sekolah menyediakan minuman lengkap dengan
kudapannya.
Tidak sengaja Alif
melihat Sarah baru saja pulang dari sekolah dijemput oleh Umminya. Sarah adalah
anak usia sekolah playgroup, putri semata wayang dari Pak Kholis. Walau masih
playgroup, anak yang pipinya menggemaskan itu sekolah mulai dari jam 07.00
sampai pukul 04.30 sore. Istilah kerennya full Day School. Konsep sekolah yang
menggabungkan belajar, bermain, sekaligus penitipan anak.
Alif menatap dua
perempuan ini lekat. Sarah dengan langkah kecilnya yang menggemaskan, digandeng
oleh Umminya dengan penuh cinta dan kasih sayang. sambil berjalan, sarah
sesekali menirukan gerakan-gerakan nyanyian di sekolahnya. Diikuti tawa Umminya
yang katanya bekerja sebagai Dosen di sebuah perguruan tinggi Islam di
Watampone. Mereka terus berjalan ke arah asrama tempat guru-guru tinggal. Alif
tercekat melihat mereka, sampai keduanya hilang dari pandangannya.
Tidak lama
kemudian, air mata Alif mulai menetes, mengalir, lalu mulai membanjiri pipinya.
Ia duduk disamping termos air minum susu sirup dingin sambil duduk dan menutupi
wajah dengan kedua lengannya. Ia teringat sosok Mamak dan adik kecilnya di
rumah. Ingatan itu memaksanya kembali untuk pulang, menolak keputusan BAZNAS
Enrekang yang menyatakan bahwa Ia lulus tes siswa berprestasi untuk bersekolah
berasrama gratis di Sekolah Islam Athirah Boarding School Bone.
Alif lalu menuju
kamar Ustad Haeruddin, Sosok paruh baya, kepala pembina asrama. Mengetuk
kamarnya dan mulai mengadu.
“Mau ka pulang Ustadz....”
“Jammaq dulu pulang, nak. di’? mau mi
orang libur ini juga, nak.” Bujuk Ustadz yang cambang di wajahnya cukup lebat
itu.
“Mau ka pale’ menelpon, ustad....”
tawar Alif lagi, dengan air mata yang mulai mengering.
Akhirnya Sang
Ustadz mengalah, dengan catatan tidak ngobrol lama karena waktu salat magrib
akan masuk. Alif menelpon, tetapi nomornya tidak aktif. Ia semakin kesal karena
Mamak dan bapaknya memang getol sekali menyekolahkan ia ke sekolah ini.
Pikirnya mungkin mereka sudah tidak sayang lagi padanya sehingga dibuangnyalah
Ia ke tempat ini.
Akhirnya,
terbersitlah sesuatu di benak Alif. Ia mengancam Mamaknya di kampung. Mulailah
ia mengetik sms pada Mamaknya. Dengan senyum menyeringai, Alif optimis Mamaknya
akan segera menjemputnya pulang ke kampung.
Setelah
mengembalikan ponsel ustadz lulusan Al Azhar Kairo, Mesir itu, Alif kemudian berlari
ke asrama. Ia takut terlambat ke musholla untuk salat magrib. Ustadz haer yang menerima
ponselnya kembali, tidak sengaja membaca “pesan terkirim” yang lupa ditutup Alif.
“Mak, dimanaki. Jemput ka besok. Atau
cari ka Mamak baru. Alif” demikian bunyi pesan singkatnya.
Ustad Haer yang sudah bersiap untuk
ke Musala, tidak dapat menahan tawanya setelah membaca pesan Alif di layar
ponselnya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sambil berjalan
menuju musala, Alif mulai berpikir, siapa kira-kira yang cocok menggantikan Mamaknya.
Sampai-sampai salat magribnya Alif pun menjadi tidak khusyuk gara-gara disisipi
pertanyaan siapa kira-kira yang cocok jadi “Mamak baruku”?
Alif sempat
memilih Bu Ayu. Tapi Bu Ayu tidak tinggal di asrama. Ia setiap hari harus
pulang ke rumahnya, mengurus suami dan anaknya. lalu Pak Kholis, tetapi Ia
membatalkan karena Pak Kholis adalah laki-laki, sedangkan ancamannya adalah
pengganti Mamak, bukan bapak. Kalau istrinya Pak Kholis, lebih tidak mungkin
lagi karena Ia tidak mengenalnya, dan lagi, apakah sarah mau berbagi ibu dengan
Alif. Itu pun dipikirkannya. Ia semakin bingung.
Setelah makan
malam bersama usai salat magrib, Alif duduk sendiri di teras musala. Ia
menunduk sambil memijit-mijit keningnya. Semakin keras Alif berpikir, semakin
sakit kepalanya.
“Tidak apa-apa jaki, nak?” sapa
lembut Mom Eva sambil mengusap kepala Alif
“ah, iye, mem. Ndak ji, mem” Jawab Alif
yang sedikit terkejut.
Mom Eva adalah
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan di SMP Islam Athirah Bone. Perempuan
paruh baya itu mengajar mata pelajaran bahasa inggris. Salah satu guru favorit
juga di sekolah itu. Suami dan anak Mom Eva tinggal di Makassar, jadi, setiap
bulan terkadang Mom Eva yang mengunjungi mereka ke Makassar, atau sebaliknya.
“Ya udah, masuk sana. Mem kira sedang
galau. Endak ji toch?” tanya Mom Eva.
“emmm emmm. Sebenarnya lagi galau ka’
mem” kuingatq lagi Mamakku..”Jawab Alif tertunduk lesu.
“Kamu ngapain galau? All of us here
is family, keluarga, okey! Udah ya.. anggap Mom ini sebagai ibu kamu, dan
teman-teman di sini sebagai saudaramu. Yach, Okey, Son?”
“Bener, Mom? Makasih ya, Mom.” Alif
tidak menyangka harapannya bak gayung bersambut. Bahagia sekali hatinya saat itu.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Anak-anak, libur idul adha akan
dimulai pada hari Rabu pagi. Kalian bisa pulang mulai pukul 09.00 pagi. Ingat,
ya! Kalian harus kembali pada hari Minggu sore. Dilarang terlambat. Paham? Ada
pertanyaan?” Ujar Bu Ayu menyampaikan pengumuman di hari Jumat sesaat sebelum
jam pembelajaran terakhir usai.
“Horeeeeee..” anak-anak menyambutnya
dengan sangat antusias. Bahkan sampai ada yang memukul-mukul meja.
Alif sendiri
merasa dilema, antara senang karena libur telah tiba, tetapi ada rasa menyesal
karena sebelumnya sudah mengancam akan mengganti Mamaknya. Tetapi Alif sudah
meyakinkan dirinya bahwa Ia tidak akan menghubungi Mamaknya lagi. Ia lalu
menuju ruangan Mom Eva setelah jam pembelajaran terakhir usai.
“Assalamualaikum...” ucap Alif sambil
mengetuk pintu ruangan Wakil Kepala Sekolah.
“Walaikumsalam, masuk, nak!” Jawab
Mem Eva dari balik pintu.
“Mem, mau ka curhat...” ujar Alif
“Alif,, masuk, nak. Sini!”
Tak lama
berselang, Alif lalu mulai mnceritakan masalahnya yang sering teringat adik dan
ibunya. Namun, selalu saja ponsel Mom Eva berdering.
“Sebentar ya, nak!” Mom Eva kembali
menyela cerita Alif karena harus
menjawab panggilan telepon.
“Iya, Sayang.. nanti Ibu bawakan.
Iya,,, Miss you honey.” Mom Eva menutup percakapan dengan seseorang di seberang
sana dengan suara terlembut dan termanisnya lalu memutar kursinya kembali
menghadap Alif yang terputus curhatannya.
“Maaf, ya, Nak? Sampai dimana
tadi?”Tanya Mom Eva.
Namun, Alif diam
saja. Ia berpikir bahwa Mom Eva tidak seperti Mamak yang senantiasa
mendengarkan keluh kesahnya. Sekalipun sedang
memasak, Mamak Alif terkadang lebih memilih menunda memasaknya demi
mendengarkan keluh kesah anaknya selama di sekolah. Ia juga biasanya langsung
memeluk Mamak tatkala sedang sedih atau ada masalah dengan temannya. Tetapi di
sini, Ia terhalang oleh meja cokelat besar ini. Jaraknya terlalu jauh untuk
menjangkau Mom Eva dan memeluknya sebagaimana Mamak.
“Alif,,, Memangnya Alif tidak pulang?
Kan dah mau lebaran.” Suara Perempuan paruh baya yang selalu mengenakan blazer
itu kembali memecah keheningan.
“Alif takut, Mom,”
“Alif takut Mamak ndak mau terima Alif
lagi”
“Kemarin Alif mengancam Mamak” terang
Alif dengan gaya berbicara Enrekangnya yang khas.
Alif lalu menceritakan semua isi sms
ancamannya pada Mamak di kampung.
“Alif ndak boleh berpikir seperti
itu, Mom its still a Mom. Ibu tetaplah seorang Ibu. Bagaimana pun besar
kesalahan anaknya, pintu maaf selalu terbuka untuk anaknya. She Always like
that” Ujar Mom Eva memberi Alif nasihat.
Dengan wajah
tertunduk lesu, Alif sadar bahwa seorang Mamak tidak akan ada yang bisa
menggantikan perannya. Sekalipun Mamaknya tak pernah sekolah tinggi seperti Mom
Eva, Ia selalu ada dan memberikan yang terbaik buat Alif. Alif lalu mohon diri
pada Mom Eva.
Di Asrama,
teman-teman Alif sudah mulai mengemasi barangnya untuk libur 5 hari yang
diberikan sekolah untuk merayakan idul kurban bersama keluarga di kampung
halaman.
“Kamu ndak beres-beres pulang,
dek?”Tanya Kak Tama pada Alif yang mematung di depan pintu kamar saat akan
masuk. Masih dengan wajah yang kusut sepulang dari salat Isya.
“mbok ya udahan itu galaunya. Kan dah
mau pulang, ini. Mestinya kan seneng.” Ujar Kak Tama lagi dengan logat Jawanya
yang sedikit medok. Ia memang blasteran Jawa Bugis. Tetapi komunikasinya di
rumah lebih dominan Jawa sehingga berpengaruh pada logatnya.
Alif masih tidak
menjawab. Ia langsung nyelonong masuk, lalu naik ke lantai dua ranjangnya,
kemudian berbaring dan menarik selimut sampai di atas kepalanya. Meringkuk,
kemudian sesenggukan.
“Waduh, masuk lagi deh pada Indonesia
bagian galau” Sindir Kak Tama lagi.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Langit seperti
akan cerah hari ini. Pertanda itu muncul dari hiruk pikuk asrama yang mulai
menggeliat meski baru pukul 03.30 dini hari. Semangat santri-santri yang akan pulang
kampung mampu mengalahkan rasa kantuk untuk bangun salat tahajjud.
Setelah salat
subuh, para santri memilih langsung sarapan, mengingat agenda setelah itu
adalah membersihkan asrama sampai pukul 08.30, baru pada pukul 09.00 para
santri diizinkan meninggalkan sekolah.
Mobil-mobil
penjemput sudah mulai berdatangan sejak pukul 07.00, apalagi orang tua siswa
yang datang dari jauh semacam Toraja, Enrekang, dan Makassar. Beberapa orang
tua siswa memang memilih menjemput langsung anaknya, tetapi bagi yang punya
dana terbatas, mereka cukup memercayakan anaknya pada supir angkutan umum.
Pukul 08.30. para
santri sudah siap dengan ransel dan kantong kresek masing-masing. Teman-teman Alif
yang berasal dari Enrekang pun sudah bersiap akan pulang. Tetapi mereka melihat
Alif belum juga mengemasi barang bawaannya.
“Alif, kau tak pulang kah?” Tanya
Albar dengan dahi mengernyit.
“Tidak kapank” Ujar Rusdi sambil
cengengesan membantu Alif menjawab pertanyaan Albar.
“Ndak tau mi deh” Jawab Alif
sekenanya. Ia menarik selimut lalu sesenggukan.
Akhirnya semua
teman-teman Alif berangkat pulang. Tinggal Alif sendiri di kamar meratapi
kesalahan dan nasibnya kini. Berlebaran di sekolah bareng satpam dan ce es.
Namun, tidak
berselang lama ada yang mengetuk-ngetuk pintu. Lalu menarik selimut Alif.
“Alif,, Ayo, berangkat, Nak? Maaf Mamak
terlambat. Lama tadi singgah Pak Sopir istirahat di Masjid pas Salat Subuh. Bangunmi
cepat, nak e.. bereskan mi cepat bawaanta.”
Alif seakan tidak percaya bahwa suara
yang didengarnya adalah suara Mamaknya. Alif lalu beranjak dari tempat tidur
lalu memeluk Mamaknya erat, seakan tidak ingin dilepasnya lagi.
“Maafin Alif ya, Mak?” Ujar Alif
dengan pelukan yang semakin erat.
Mamak Alif heran, ada apa dengan
anaknya.
“Kita’ kenapa, Nak?”
“Maafkan ka’ soal sms kemaren, Mak!”
“sms apa, Nak?” tanya Mamak Alif
heran.
“Mamak ndak baca kah?”
“sms apa, Nak? Kita kirim sms kah? Ke
nomor Mamak?”
“Iye, Mak”
“Aih,, kenapa ki’ sms ke nomor itu.
Rusak mi itu nomornya. Na celupq minggu lalu adikmu itu hapenya Mamak di kolam
depan rumah. Jadi rusakmi nomor sama hapenya.” Urai Mamak Alif panjang lebar.
“jadi Mamak tidak baca smsnya?” Tanya
Alif dengan wajah penuh harap.
“Tidak, Nak. Apakah, Nak?” Tanya Mamak
Alif tambah heran.
“ini lagi saya tau ki’ libur dari Mamaknya
Albar”
“ah,,,, eng,,,,, endak ji, Mak” Alif
jadi senyum senyum. Bersyukur Mamaknya tidak membaca sms ancamannya. Dipeluknya
lagi Mamaknya dengan dekapan yang lebih erat.
Akhirnya, Mobil
Toyota Kijang kapsul tahun 2005 berwarna silver yang membawa Alif dan Emaknya
itu menderu-deru meninggalkan parkiran taman menuju Enrekang, meninggalkan
jejak sms ancaman Alif yang akan mengganti Mamaknya dengan Mamak yang baru, membuat
Alif sadar bahwa Mamaknya tidak akan pernah tergantikan.
Panyula,
26 Agustus
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar