Jumat, 13 September 2019

Mamak Baru Buat Alif



Oleh: Abisar
Bintang-bintang bertaburan di langit Panyula. Bulan tersenyum memandang khusyuknya santri-santri di Athirah menunaikan kewajiban malam, Salat Isya berjamaah. Santri putra, santriwati, guru, kepala sekolah, karyawan, pembina asrama, satpam sampai tukang kebun semuanya menghadapkan wajahnya.Semuanya sujud pasrah di hadapan Allah, Rabb Sekalian alam semesta.
Dari kejauhan tampak seorang santri berlari di selasar, diikuti sosok lelaki bersarung, lari sekelebatan. Keduanya akhirnya bisa dihentikan, dihadang satpam sekolah, Pak Pabbetongi.  Tepat di depan pintu gerbang, Ustad Agus urung berjamaah bersama sekalian warga pondok. Ia beradu kuat bersama Pak Pabbetongi, menahan pintu gerbang pondok agar tidak jebol dibobol Alif, santri baru yang bersikeras ingin pulang ke rumahnya.
“Mau ka Pulang. Huuu... huuuu.. Mau ka Pulang....huuuu.” Isak Alif sambil menggoyang-goyang pintu besi.
Sesekali, bocah 12 tahun itu menendang apa saja yang ada di depannya, tidak terkecuali teralis pagar besi yang tetap saja kokoh, tak bergeming meski digoyang raung tangis Alif yang memaksa agar dipulangkan ke rumahnya.
“Ciat, iyak, aik,” Pekik Ustad Agus dan Pak Pabbetongi menghindari benda-benda yang melayang ke arahnya hasil tendangan membabi buta Alif.
Mulai dari kertas, bebatuan, sampai tempat sampah di belakang pos satpam melayang. Dua karyawan Sekolah Islam Boarding Athirah ini hanya bisa mengelak sambil membujuk Alif agar mau kembali ke asrama dan bergabung bersama rekan-rekannya.
“Ayo’ mi, nak! Kembali’ maki di asrama. Ndak capek ki itu? Ayo’mi. Nanti besok saya antar ki. Tidak ada mobil kalau malam-malam begini.”Ujar Ustad Agus sambil sesekali mencoba membelai kepala Alif, namun selalu saja gagal karena tendangan-tendangan kaki kecil Alif  juga mencoba meraih sarung ustad, yang baru sebulan menikah itu.
Akhirnya, raungan itu mereda tatkala Bu Ayu datang menghampiri tiga sejoli tersebut sepulang dari salat isya. Alif lalu menghambur ke pelukan Bu Ayu yang juga wali kelasnya di sekolah. Selamatlah Ustad Agus dan Pak Satpam.
“Kenapaki begitu,nak?”
“aih, ndak malu ki itu diliat sama teman-temanta nanti?” Bujuk Bu Ayu sambil mengusap kepala santri yang baru  tiga hari ditinggalkan orang tua dan rombongan orang sekampung untuk bersekolah berasrama tersebut.
“Huuuuhuuu.. mau ka pulang, Bu?” Rengek Alif lagi.
“Iya, iya, nanti kita telepon Ibu’ta, di Enrekang, ya? Biar Alif dijemput” sambut Bu Ayu.
Malam itu dunia kembali tentram. Alif kembali ke lantai dua ranjang di kamarnya untuk menyambung asa bahwa Ia akan dijemput, pulang ke Enrekang. Berkumpul bersama ibu, ayah, dan adik-adiknya.
“Kriiiing....Kriing.....” bel asrama menjerit berkali-kali. Tepat pukul 03.45. dini hari. Tanda bahwa semua warga asrama harus beranjak dari pulau kapuk menyaingi ayam jantan menyambut pagi. Semua santri bergegas ke kamar mandi mengantri dengan tertib agar tidak terlambat mengikuti salat tahajjud berjamaah. Tidak terkecuali Alif. Ustad Kholis yang kebetulan piket hari itu memijit-mijit lembut ibu jari kakinya agar bangun dan beranjak untuk bersiap ikut salat tahajjud berjamah.
Meski dengan langkah gontai dan terhuyung-huyung karena masih mengantuk. Alif akhirnya mampu menyelesaikan lima rakaat salat tahajjud dengan witir. Berjalan ke musala untuk salat subuh dan mengikuti kelas tahfidz. Meski dengan mata membengkak, ustad supriadi yang bertugas di kelas tahfidz sengaja tidak bertanya pada Alif karena sudah tahu penyebabnya.
Pagi itu langit cukup cerah. Mentari tersenyum manis, semanis langkah Alif yang mengiringinya ke sekolah. Rahmat, Siswa kelas X yang juga teman sekamarnya, menemani Alif bersama tiga rekan lainnya. Rombongan-rombongan kecil lainnya mengikut dari belakang. Mereka menyambut pagi yang cerah, menyongsong masa depan di sekolah berasrama.
Pagi itu, Jam pertama pelajaran di kelas yang mengisi adalah Pak Kholis.
“Attention,,,” Pekik Sandi, Ketua Kelas VII Ar Rahim Mengomandoi siswa yang lain.
“Ready,,,,” jawab siswa-siswa yang lain dengan pekikan yang tidak kalah kuat.
Setelah memberi salam, mengumandangkan yel-yel kelas. Semua siswa kelas VII Ar Rahim bersiap menerima materi bahasa indonesia dari sosok lelaki berbadan tambun tersebut.
“Baik anak-anak, hari ini kita ada agenda ulangan harian, ya? Tentang materi terakhir kemarin” Tanya Pak Kholis mengawali materinya.
“Siap Pak.” Jawab anak-anak serentak, kecuali Alif yang melongo melihat teman di kanan dan kirinya.
“Tapi, nanti, ya! Di jam kedua aja. Bapak akan mengulang dulu materi terakhir tentang ‘kalimat langsung dan kalimat tidak langsung’.” Kata Guru yang aslinya berasal dari Jawa Timur tersebut.
“Ingat, ya! Kalimat langsung itu cirinya menggunakan tanda petik, dan bila akan diubah menjadi kalimat tidak langsung, kalian harus memerhatikan kata kerja tindakannya, dan juga kata ganti untuk pelakunya. Ayo, sekarang coba kalian perhatikan! Bapak mau nge tes kalian dulu.” Urai panjang Pak Kholis.
Satu persatu siswa kelas VII Ar Rahim naik ke depan mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh Pak Kholis. Ada yang berhasil, tetapi tidak sedikit juga yang menemui kegagalan. Semua siswa antusias mengangkat tangan, mencoba menjawab soal-soal bahasa indonesia yang menantang dari guru yang senang menggunakan pin yang berbeda-beda di dadanya, setiap hari setiap ia masuk mengajar.
Alif terkagum-kagum melihat kelas yang begitu bersemangat dan melihat betapa teman-temannya menikmati salah dan benar saat mengerjakan soal-soal tersebut. Ia akhirnya dengan wajah tersipu memberanikan diri mengangkat tangan.
“Alif bisa?” tanya Pak Kholis dengan alis mata yang sedikit naik.
“hehehe,,, mau ka juga mencoba juga, Pak” Jawab Alif dengan gaya tutur khas Enrekangnya, dimana bunyi “e” yang seharusnya dibaca seperti pada bunyi Telur tetapi dibaca “e” pada“Meja”. Jadinya seperti gaya bicara si poltak dari medan.
Ternyata jawaban yang Alif torehkan di papan tulis hampir benar. Membuat Ia tambah semangat menyimak penjelasan dari Pak Kholis terkait perbaikan dari jawabannya yang salah.
Kertas-kertas putih berisi soal ulangan bahasa indonesia itu akhirnya terbagi juga. Alif tertegun melihat 20 soal yang terdiri atas 15 pilihan ganda dan 5 nomor soal esai itu.
“Pak, yang nomor 6 ini bagaimana ya?” tanya Alif.
“Ow,, itu tentang struktur teks deskripsi. Alif ndak masuk ya, kemarin”
“hehehe, Iya, Pak. Saya lagi sibuk. Sedang galau, Pak.” Ujar Alif dengan wajah memerah.
Sontak semua temannya tertawa mendengar pengakuan polos Alif.
“Makanya,, kalau Alif mau galau, sesuaikan dulu sama rosternya. Kalau besok ulangan, galaunya hari itu ditunda dulu, ya?hehehehe” canda Pak Kholis yang diikuti tawa teman sekelas Alif.
Alif hanya bisa tertunduk lesu sambil berharap keberuntungan menaunginya, mengingat 15 nomor soal yang diberikan dalam bentuk pilihan ganda.
Sepulang salat Ashar, Alif memilih bermain bulu tangkis untuk mengisi jadwal olahraga sorenya. Di tempat lain, tampak ada siswa dan guru  yang sedang bermain futsal di lapangan basket. Ada juga siswa yang bermain voli, joging, sampai berlatih bela diri. Di Athirah Boarding School memang disediakan banyak pilihan olahraga yang bisa santri-santrinya pilih untuk mengisi waktu di sore hari.
Penat bermain tepok bulu, Alif menuju kantin sekolah untuk mengambil air minum. Mengobati dahaganya. Setiap sore, kantin sekolah menyediakan minuman sirup susu dingin untuk semua anak yang berolahraga. Pun untuk siswa-siswa yang mengikuti les sore, bedanya adalah, untuk siswa yang mengikuti les sore sekolah  menyediakan minuman lengkap dengan kudapannya.
Tidak sengaja Alif melihat Sarah baru saja pulang dari sekolah dijemput oleh Umminya. Sarah adalah anak usia sekolah playgroup, putri semata wayang dari Pak Kholis. Walau masih playgroup, anak yang pipinya menggemaskan itu sekolah mulai dari jam 07.00 sampai pukul 04.30 sore. Istilah kerennya full Day School. Konsep sekolah yang menggabungkan belajar, bermain, sekaligus penitipan anak.
Alif menatap dua perempuan ini lekat. Sarah dengan langkah kecilnya yang menggemaskan, digandeng oleh Umminya dengan penuh cinta dan kasih sayang. sambil berjalan, sarah sesekali menirukan gerakan-gerakan nyanyian di sekolahnya. Diikuti tawa Umminya yang katanya bekerja sebagai Dosen di sebuah perguruan tinggi Islam di Watampone. Mereka terus berjalan ke arah asrama tempat guru-guru tinggal. Alif tercekat melihat mereka, sampai keduanya hilang dari pandangannya.
Tidak lama kemudian, air mata Alif mulai menetes, mengalir, lalu mulai membanjiri pipinya. Ia duduk disamping termos air minum susu sirup dingin sambil duduk dan menutupi wajah dengan kedua lengannya. Ia teringat sosok Mamak dan adik kecilnya di rumah. Ingatan itu memaksanya kembali untuk pulang, menolak keputusan BAZNAS Enrekang yang menyatakan bahwa Ia lulus tes siswa berprestasi untuk bersekolah berasrama gratis  di  Sekolah Islam Athirah Boarding School Bone.
Alif lalu menuju kamar Ustad Haeruddin, Sosok paruh baya, kepala pembina asrama. Mengetuk kamarnya dan mulai mengadu.
“Mau ka pulang Ustadz....”
“Jammaq dulu pulang, nak. di’? mau mi orang libur ini juga, nak.” Bujuk Ustadz yang cambang di wajahnya cukup lebat itu.
“Mau ka pale’ menelpon, ustad....” tawar Alif lagi, dengan air mata yang mulai mengering.
Akhirnya Sang Ustadz mengalah, dengan catatan tidak ngobrol lama karena waktu salat magrib akan masuk. Alif menelpon, tetapi nomornya tidak aktif. Ia semakin kesal karena Mamak dan bapaknya memang getol sekali menyekolahkan ia ke sekolah ini. Pikirnya mungkin mereka sudah tidak sayang lagi padanya sehingga dibuangnyalah Ia ke tempat ini.
Akhirnya, terbersitlah sesuatu di benak Alif. Ia mengancam Mamaknya di kampung. Mulailah ia mengetik sms pada Mamaknya. Dengan senyum menyeringai, Alif optimis Mamaknya akan segera menjemputnya pulang ke kampung.
Setelah mengembalikan ponsel ustadz lulusan Al Azhar Kairo, Mesir itu, Alif kemudian berlari ke asrama. Ia takut terlambat ke musholla untuk salat magrib. Ustadz haer yang menerima ponselnya kembali, tidak sengaja membaca “pesan terkirim” yang lupa ditutup Alif.
“Mak, dimanaki. Jemput ka besok. Atau cari ka Mamak baru. Alif” demikian bunyi pesan singkatnya.
Ustad Haer yang sudah bersiap untuk ke Musala, tidak dapat menahan tawanya setelah membaca pesan Alif di layar ponselnya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sambil berjalan menuju musala, Alif mulai berpikir, siapa kira-kira yang cocok menggantikan Mamaknya. Sampai-sampai salat magribnya Alif pun menjadi tidak khusyuk gara-gara disisipi pertanyaan siapa kira-kira yang cocok jadi “Mamak baruku”?
Alif sempat memilih Bu Ayu. Tapi Bu Ayu tidak tinggal di asrama. Ia setiap hari harus pulang ke rumahnya, mengurus suami dan anaknya. lalu Pak Kholis, tetapi Ia membatalkan karena Pak Kholis adalah laki-laki, sedangkan ancamannya adalah pengganti Mamak, bukan bapak. Kalau istrinya Pak Kholis, lebih tidak mungkin lagi karena Ia tidak mengenalnya, dan lagi, apakah sarah mau berbagi ibu dengan Alif. Itu pun dipikirkannya. Ia semakin bingung.
Setelah makan malam bersama usai salat magrib, Alif duduk sendiri di teras musala. Ia menunduk sambil memijit-mijit keningnya. Semakin keras Alif berpikir, semakin sakit kepalanya.
“Tidak apa-apa jaki, nak?” sapa lembut Mom Eva sambil mengusap kepala Alif
“ah, iye, mem. Ndak ji, mem” Jawab Alif yang sedikit terkejut.
Mom Eva adalah Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan di SMP Islam Athirah Bone. Perempuan paruh baya itu mengajar mata pelajaran bahasa inggris. Salah satu guru favorit juga di sekolah itu. Suami dan anak Mom Eva tinggal di Makassar, jadi, setiap bulan terkadang Mom Eva yang mengunjungi mereka ke Makassar, atau sebaliknya.
“Ya udah, masuk sana. Mem kira sedang galau. Endak ji toch?” tanya Mom Eva.
“emmm emmm. Sebenarnya lagi galau ka’ mem” kuingatq lagi Mamakku..”Jawab Alif tertunduk lesu.
“Kamu ngapain galau? All of us here is family, keluarga, okey! Udah ya.. anggap Mom ini sebagai ibu kamu, dan teman-teman di sini sebagai saudaramu. Yach, Okey, Son?”
“Bener, Mom? Makasih ya, Mom.” Alif tidak menyangka harapannya bak gayung bersambut. Bahagia sekali hatinya saat itu.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Anak-anak, libur idul adha akan dimulai pada hari Rabu pagi. Kalian bisa pulang mulai pukul 09.00 pagi. Ingat, ya! Kalian harus kembali pada hari Minggu sore. Dilarang terlambat. Paham? Ada pertanyaan?” Ujar Bu Ayu menyampaikan pengumuman di hari Jumat sesaat sebelum jam pembelajaran terakhir usai.
“Horeeeeee..” anak-anak menyambutnya dengan sangat antusias. Bahkan sampai ada yang memukul-mukul meja.
Alif sendiri merasa dilema, antara senang karena libur telah tiba, tetapi ada rasa menyesal karena sebelumnya sudah mengancam akan mengganti Mamaknya. Tetapi Alif sudah meyakinkan dirinya bahwa Ia tidak akan menghubungi Mamaknya lagi. Ia lalu menuju ruangan Mom Eva setelah jam pembelajaran terakhir usai.
“Assalamualaikum...” ucap Alif sambil mengetuk pintu ruangan Wakil Kepala Sekolah.
“Walaikumsalam, masuk, nak!” Jawab Mem Eva dari balik pintu.
“Mem, mau ka curhat...” ujar Alif
“Alif,, masuk, nak. Sini!”
Tak lama berselang, Alif lalu mulai mnceritakan masalahnya yang sering teringat adik dan ibunya. Namun, selalu saja ponsel Mom Eva berdering.
“Sebentar ya, nak!” Mom Eva kembali menyela cerita Alif  karena harus menjawab panggilan telepon.
“Iya, Sayang.. nanti Ibu bawakan. Iya,,, Miss you honey.” Mom Eva menutup percakapan dengan seseorang di seberang sana dengan suara terlembut dan termanisnya lalu memutar kursinya kembali menghadap Alif yang terputus curhatannya.
“Maaf, ya, Nak? Sampai dimana tadi?”Tanya Mom Eva.
Namun, Alif diam saja. Ia berpikir bahwa Mom Eva tidak seperti Mamak yang senantiasa mendengarkan keluh kesahnya. Sekalipun sedang  memasak, Mamak Alif terkadang lebih memilih menunda memasaknya demi mendengarkan keluh kesah anaknya selama di sekolah. Ia juga biasanya langsung memeluk Mamak tatkala sedang sedih atau ada masalah dengan temannya. Tetapi di sini, Ia terhalang oleh meja cokelat besar ini. Jaraknya terlalu jauh untuk menjangkau Mom Eva dan memeluknya sebagaimana Mamak.
“Alif,,, Memangnya Alif tidak pulang? Kan dah mau lebaran.” Suara Perempuan paruh baya yang selalu mengenakan blazer itu kembali memecah keheningan.
“Alif takut, Mom,”
“Alif takut Mamak ndak mau terima Alif lagi”
“Kemarin Alif mengancam Mamak” terang Alif dengan gaya berbicara Enrekangnya yang khas.
Alif lalu menceritakan semua isi sms ancamannya pada Mamak di kampung.
“Alif ndak boleh berpikir seperti itu, Mom its still a Mom. Ibu tetaplah seorang Ibu. Bagaimana pun besar kesalahan anaknya, pintu maaf selalu terbuka untuk anaknya. She Always like that” Ujar Mom Eva memberi Alif nasihat.
Dengan wajah tertunduk lesu, Alif sadar bahwa seorang Mamak tidak akan ada yang bisa menggantikan perannya. Sekalipun Mamaknya tak pernah sekolah tinggi seperti Mom Eva, Ia selalu ada dan memberikan yang terbaik buat Alif. Alif lalu mohon diri pada Mom Eva.
Di Asrama, teman-teman Alif sudah mulai mengemasi barangnya untuk libur 5 hari yang diberikan sekolah untuk merayakan idul kurban bersama keluarga di kampung halaman.
“Kamu ndak beres-beres pulang, dek?”Tanya Kak Tama pada Alif yang mematung di depan pintu kamar saat akan masuk. Masih dengan wajah yang kusut sepulang dari salat Isya.
“mbok ya udahan itu galaunya. Kan dah mau pulang, ini. Mestinya kan seneng.” Ujar Kak Tama lagi dengan logat Jawanya yang sedikit medok. Ia memang blasteran Jawa Bugis. Tetapi komunikasinya di rumah lebih dominan Jawa sehingga berpengaruh pada logatnya.
Alif masih tidak menjawab. Ia langsung nyelonong masuk, lalu naik ke lantai dua ranjangnya, kemudian berbaring dan menarik selimut sampai di atas kepalanya. Meringkuk, kemudian sesenggukan.
“Waduh, masuk lagi deh pada Indonesia bagian galau” Sindir Kak Tama lagi.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Langit seperti akan cerah hari ini. Pertanda itu muncul dari hiruk pikuk asrama yang mulai menggeliat meski baru pukul 03.30 dini hari. Semangat santri-santri yang akan pulang kampung mampu mengalahkan rasa kantuk untuk bangun salat tahajjud.
Setelah salat subuh, para santri memilih langsung sarapan, mengingat agenda setelah itu adalah membersihkan asrama sampai pukul 08.30, baru pada pukul 09.00 para santri diizinkan meninggalkan sekolah.
Mobil-mobil penjemput sudah mulai berdatangan sejak pukul 07.00, apalagi orang tua siswa yang datang dari jauh semacam Toraja, Enrekang, dan Makassar. Beberapa orang tua siswa memang memilih menjemput langsung anaknya, tetapi bagi yang punya dana terbatas, mereka cukup memercayakan anaknya pada supir angkutan umum.
Pukul 08.30. para santri sudah siap dengan ransel dan kantong kresek masing-masing. Teman-teman Alif yang berasal dari Enrekang pun sudah bersiap akan pulang. Tetapi mereka melihat Alif belum juga mengemasi barang bawaannya.
“Alif, kau tak pulang kah?” Tanya Albar dengan dahi mengernyit.
“Tidak kapank” Ujar Rusdi sambil cengengesan membantu Alif menjawab pertanyaan Albar.
“Ndak tau mi deh” Jawab Alif sekenanya. Ia menarik selimut lalu sesenggukan.
Akhirnya semua teman-teman Alif berangkat pulang. Tinggal Alif sendiri di kamar meratapi kesalahan dan nasibnya kini. Berlebaran di sekolah bareng satpam dan ce es.
Namun, tidak berselang lama ada yang mengetuk-ngetuk pintu. Lalu menarik selimut Alif.
“Alif,, Ayo, berangkat, Nak? Maaf Mamak terlambat. Lama tadi singgah Pak Sopir istirahat di Masjid pas Salat Subuh. Bangunmi cepat, nak e.. bereskan mi cepat bawaanta.”
Alif seakan tidak percaya bahwa suara yang didengarnya adalah suara Mamaknya. Alif lalu beranjak dari tempat tidur lalu memeluk Mamaknya erat, seakan tidak ingin dilepasnya lagi.
“Maafin Alif ya, Mak?” Ujar Alif dengan pelukan yang semakin erat.
Mamak Alif heran, ada apa dengan anaknya.
“Kita’ kenapa, Nak?”
“Maafkan ka’ soal sms kemaren, Mak!”
“sms apa, Nak?” tanya Mamak Alif heran.
“Mamak ndak baca kah?”
“sms apa, Nak? Kita kirim sms kah? Ke nomor Mamak?”
“Iye, Mak”
“Aih,, kenapa ki’ sms ke nomor itu. Rusak mi itu nomornya. Na celupq minggu lalu adikmu itu hapenya Mamak di kolam depan rumah. Jadi rusakmi nomor sama hapenya.” Urai Mamak Alif panjang lebar.
“jadi Mamak tidak baca smsnya?” Tanya Alif dengan wajah penuh harap.
“Tidak, Nak. Apakah, Nak?” Tanya Mamak Alif tambah heran.
“ini lagi saya tau ki’ libur dari Mamaknya Albar”
“ah,,,, eng,,,,, endak ji, Mak” Alif jadi senyum senyum. Bersyukur Mamaknya tidak membaca sms ancamannya. Dipeluknya lagi Mamaknya dengan dekapan yang lebih erat.
Akhirnya, Mobil Toyota Kijang kapsul tahun 2005 berwarna silver yang membawa Alif dan Emaknya itu menderu-deru meninggalkan parkiran taman menuju Enrekang, meninggalkan jejak sms ancaman Alif yang akan mengganti Mamaknya dengan Mamak yang baru, membuat Alif sadar bahwa Mamaknya tidak akan pernah tergantikan.

Panyula, 26 Agustus 2017



Tidak ada komentar:

Posting Komentar