Senin, 26 Agustus 2019

La Galigo, Kearifan Lokal Yang Mendunia



 
Naskah La Galigo
 
Ditulis Oleh
Athila Dwi Nugraha Ihsan
 Berdasarkan kisah, La Galigo adalah anak dari Sawerigading dan I We Cudai. Sawerigading dikisahkan memiliki saudara kembar perempuan yang bernama We Tenriabeng, yang dipisahkan sejak lahir karena sebagai “Anak Kembar Emas”, dan di takutkan mereka berdua akan saling jatuh cinta saat dewasa.
Namun pada kenyataannya,  Sawerigading bertemu dengan We Tenriabeng di sebuah jamuan makan tanpa sengaja, terjadilah apa yang ditakutkan selama ini. Sawerigading dan We Tenriabeng saling mencintai. Namun, Sawerigading gagal meminang adik kandungnya sendiri karena hal itu sangat bertentangan dengan adat dan kebiasaan. Karena gagal meminang adik kandungnya sendiri, dia akhirnya memutuskan untuk berlayar menuju tanah Cina. Ditemani pengawal dan ajudan-ajudannya Sawerigading akhirnya tiba di tanah Cina.Di Cina ia bertemu dengan putri Cina yg bernama I We Cudai. I We Cudai dapat menarik perhatian Sawerigading dan akhirnya mereka menikah dan menghasilkan beberapa orang anak salah satunya ialah La Galigo.
Banyak yang belum mengenal dengan sosok La Galigo,  akan tetapi dibeberapa kisah yang pernah ada, La Galigo dikisahkan sebagai Pelaut ulung seperti ayahnya yang selalu berpindah-pindah tempat dari satu tempat ketempat yang lain bersama para pengikutnya. Karena selalu berpindah tempat sehingga sosok La Galigo tidak pernah menjadi Pemimpin atau Raja di suatu Daerah.
Di setiap daerah itulah terdapat cerita atau kisah yang menjadi cerita sampai saat ini yang pernah ditulis atau disadur oleh budayawan atau sejarahwan terdahulu dan berdarah bugis bernama Colliq Pujie yang menceritakan peradaban Bugis di Sulawesi Selatan yang bisa dijadikan teladan termasuk adat istiadat, budaya serta tata cara hidup bermasyarakat dan berkeluarga.
Colliq Pujie adalah bangsawan bugis bergelar Arung Pancana dan sudah mengharumkan nama Bangsa Indonesia di Dunia Sastra Internasional atas kerja samanya bersama B.F. Mathes warga negara Belanda dalam menyalin naskah I La Galigo hingga menjadi naskah dengan kualitas yang sangat mengesankan sebanyak 12 jilid yang tersimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda dan merupakan epos terpanjang di dunia melebihi dua genre sejenis dari India yang lebih terkenal yakni Mahabharata dan Ramayana dan telah diakui oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) sebagai “Memory of the World” atau Warisan Dunia.
            Cerita La Galigo sudah banyak tidak diketahui oleh orang-orang terlebih lagi oleh anak Zaman sekarang. Untung saja, saat ini masih ada beberapa sejarahwan dan budayawan yang masih peduli dengan sejarah-sejarah terdahulu termasuk La Galigo ini. Banyak hal yang dilakukan para sejarawan dan budayawan untuk mempertahankan dan mengenalkan epos terpanjang di dunia ini. Misalnya dengan melakukan bedah buku, pementasan drama kolosal, tarian bahkan dengan mengadakan Festival Budaya dan seminar Internasional La Galigo.
Festival Budaya La Galigo ini pun telah di adakan sebanyak 3 kali. Pelaksanaan pertama kali yaitu di Kabupaten Barru pada tahun 2002, kemudian yang kedua di Kabupaten Luwu pada tahun 2004, dan yang ketiga baru-baru ini dilaksanakan di Kabupaten Soppeng pada tahun 2018 yaitu pada tanggal 17-23 Desember.
Dalam pelaksanaan festival yang ketiga ini, juga dilaksanakan Seminar Internasional yang menghadirkan kurang lebih 750 orang peserta seminar yang bukan hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga dihadiri peserta dari luar negeri yang terdiri dari 10 negara. Yaitu, Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Australia, Canada, Thailand, Malysia, Singapura, Jerman dan New Zaeland.”Menurut saya La Galigo sangat harus di lestarikan karena merupakan epos terpanjang di dunia dan ini pula menjadi kebanggaan bangsa Indonesia terutama Proinsi Sulawesi Selatan maka oleh sebab itu sejarah La Galigo harus tetap di pertahankan”
 Dengan adanya festival dan seminar internasional La Galigo ini, harapan saya adalah agar bukan hanya dari kalangan sejarawan atau budayawan yang mengerti dan memahaminya saja akan tetapi seluruh masyarakat terutama yang berada di Sulawesi Selatan. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikan adat istiadat dan budaya yang kita miliki ini.


Penulis: Athila Dwi Nugraha Ihsan
Sumber Foto:  Rakyatku News




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar