Naskah La Galigo
Berdasarkan kisah, La Galigo adalah anak dari
Sawerigading dan I We Cudai. Sawerigading dikisahkan memiliki saudara kembar
perempuan yang bernama We Tenriabeng, yang dipisahkan sejak lahir karena sebagai
“Anak Kembar Emas”, dan di takutkan mereka berdua akan saling jatuh cinta saat
dewasa.
Namun
pada kenyataannya, Sawerigading bertemu
dengan We Tenriabeng di sebuah jamuan makan tanpa sengaja, terjadilah apa yang
ditakutkan selama ini. Sawerigading dan We Tenriabeng saling mencintai. Namun,
Sawerigading gagal meminang adik kandungnya sendiri karena hal itu sangat
bertentangan dengan adat dan kebiasaan. Karena gagal meminang adik kandungnya
sendiri, dia akhirnya memutuskan untuk berlayar menuju tanah Cina. Ditemani
pengawal dan ajudan-ajudannya Sawerigading akhirnya tiba di tanah Cina.Di Cina
ia bertemu dengan putri Cina yg bernama I We Cudai. I We Cudai dapat menarik
perhatian Sawerigading dan akhirnya mereka menikah dan menghasilkan beberapa
orang anak salah satunya ialah La Galigo.
Banyak
yang belum mengenal dengan sosok La Galigo, akan tetapi dibeberapa kisah yang pernah ada,
La Galigo dikisahkan sebagai Pelaut ulung seperti ayahnya yang selalu
berpindah-pindah tempat dari satu tempat ketempat yang lain bersama para
pengikutnya. Karena selalu berpindah tempat sehingga sosok La Galigo tidak pernah
menjadi Pemimpin atau Raja di suatu Daerah.
Di
setiap daerah itulah terdapat cerita atau kisah yang menjadi cerita sampai saat
ini yang pernah ditulis atau disadur oleh budayawan atau sejarahwan terdahulu dan
berdarah bugis bernama Colliq Pujie yang menceritakan peradaban Bugis di
Sulawesi Selatan yang bisa dijadikan teladan termasuk adat istiadat, budaya
serta tata cara hidup bermasyarakat dan berkeluarga.
Colliq
Pujie adalah bangsawan bugis bergelar Arung Pancana dan sudah mengharumkan nama
Bangsa Indonesia di Dunia Sastra Internasional atas kerja samanya bersama B.F.
Mathes warga negara Belanda dalam menyalin naskah I La Galigo hingga menjadi
naskah dengan kualitas yang sangat mengesankan sebanyak 12 jilid yang tersimpan
rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda dan merupakan epos terpanjang
di dunia melebihi dua genre sejenis dari India yang lebih terkenal yakni
Mahabharata dan Ramayana dan telah diakui oleh United Nations Educational,
Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) sebagai “Memory of the World”
atau Warisan Dunia.
Cerita La Galigo sudah banyak tidak
diketahui oleh orang-orang terlebih lagi oleh anak Zaman sekarang. Untung saja,
saat ini masih ada beberapa sejarahwan dan budayawan yang masih peduli dengan
sejarah-sejarah terdahulu termasuk La Galigo ini. Banyak hal yang dilakukan
para sejarawan dan budayawan untuk mempertahankan dan mengenalkan epos
terpanjang di dunia ini. Misalnya dengan melakukan bedah buku, pementasan drama
kolosal, tarian bahkan dengan mengadakan Festival Budaya dan seminar
Internasional La Galigo.
Festival Budaya La Galigo ini pun telah di adakan
sebanyak 3 kali. Pelaksanaan pertama kali yaitu di Kabupaten Barru pada tahun
2002, kemudian yang kedua di Kabupaten Luwu pada tahun 2004, dan yang ketiga
baru-baru ini dilaksanakan di Kabupaten Soppeng pada tahun 2018 yaitu pada
tanggal 17-23 Desember.
Dalam pelaksanaan festival yang ketiga ini, juga
dilaksanakan Seminar Internasional yang menghadirkan kurang lebih 750 orang
peserta seminar yang bukan hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga
dihadiri peserta dari luar negeri yang terdiri dari 10 negara. Yaitu, Amerika
Serikat, Belanda, Jepang, Australia, Canada, Thailand, Malysia, Singapura,
Jerman dan New Zaeland.”Menurut saya La Galigo sangat harus di lestarikan
karena merupakan epos terpanjang di dunia dan ini pula menjadi kebanggaan
bangsa Indonesia terutama Proinsi Sulawesi Selatan maka oleh sebab itu sejarah
La Galigo harus tetap di pertahankan”
Dengan adanya
festival dan seminar internasional La Galigo ini, harapan saya adalah agar
bukan hanya dari kalangan sejarawan atau budayawan yang mengerti dan
memahaminya saja akan tetapi seluruh masyarakat terutama yang berada di
Sulawesi Selatan. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikan
adat istiadat dan budaya yang kita miliki ini.
Penulis:
Athila Dwi Nugraha Ihsan
Sumber Foto: Rakyatku News
Tidak ada komentar:
Posting Komentar