Kamis, 04 Mei 2023

Seragam Merah_Zinedin

 

Boarding Story #36

Zinedin Anangta’ Paluseri

 

Seragam Merah

 

“Alif!”

tok tok tok

“Alif!”

tok tok tok

“We Alif! Lama sekali ko!”

Sudah sekitar 20 menit lebih, Alif tak kunjung selesai dari mandinya.

“Tunggu ma! 5 menit lagi!”

“Edede dari tadi itu terus ji mu bilang!”

Desak Wawan.

“Iyo cak, tunggu ma!”

Balas Alif.

Suasana seperti ini bisa dibilang suasana yang sudah tidak asing lagi. Apalagi, menjelang waktu sholat maghrib. Orang – orang berebut antrian kamar mandi agar bisa secepatnya menuju ke masjid. Adu mulut, bahkan ada saja yang sampai beradu pukulan demi merebut antrian.

 

10 menit berlalu, akhirnya Alif keluar dari kamar mandi.

“Nah, begitu. Kenapa memang lama sekali ko mandi? Mandi mau setengah jam kapang. Apa mentong mu bikin? Curiga ka saya”

Wawan menyelidiki.

“Sembarang tong na bilang ine. Orang kalau mandi harus bersih, sebersih – bersihnya pokoknya”

“Apa tong. Sudah mi deh, sana meko! Mau ka mandi”

“Deh, ngapamie”

 

Allahuakbar Allahuakbar!”

Allahuakbar Allahuakbar!”

Adzan maghrib telah berkumandang.

“We, ayo mi!”

Alif memanggil.

“Tunggu ka!”

Balas Wawan.

 

Alif memang dikenal dengan sifat alimnya. 5 waktunya yang tak pernah bolong dan rajin bersedekah. Ditambah lagi, Ia memiliki hafalan Al-Qur’an yang cukup banyak. Selain alim, Alif juga dikenal sebagai orang yang friendly ke orang lain. Ia mampu terbuka dan meyakinkan orang sekitarnya. Alif juga dikenal di kalangan guru. Sifatnya yang begitu ramah, sopan dan beradab di hadapan guru. Namun, di samping semua itu, ada satu kelemahan yang dimiliki Alif, yaitu pelajaran non akademik atau olahraga. Seringkali Alif diajak teman – temannya untuk bermain futsal, tetapi justru Alif selalu menolak dan lebih memilih untuk belajar atau pun memurojaah hafalannya.

 

Sementara Wawan, dikenal dengan kekurangannya. Ia seringkali diolok – olok oleh teman – temannya karena postur badannya yang begitu pendek dan agak gemuk. Membuat Wawan seringkali menjadi bahan tawaan teman – temannya. Bahkan, saat di kantin saja, terkadang Wawan kehilangan nafsu makannya karena dijauhi dan ditertawakan teman – temannya. Namun dibalik kekurangannya itu, Wawan justru menguasai pelajaran di bidang akademik. Tak jarang, teman – temannya meminta contekan kepadanya, namun justru Wawan selalu saja menolak. Orang yang merupakan pemeran utama atas penindasan Wawan, ialah kakak tirinya sendiri, Agus. Agus beda umur satu tahun dengan Wawan. Agus seringkali kesal atas kehadiran adik tirinya itu. Entah itu di sekolah, mau pun di rumah.

 

Alif dan Wawan memang dua orang yang sangat berbeda, apalagi si Wawan yang sering mendapatkan olokan dari teman – temannya. Namun tentu, Alif tak akan membiarkan hal itu terjadi pada sahabatnya. Beberapa kali Alif membela sahabatnya itu. Hal ini membuat teman – teman mereka yang lain bingung, mengapa bisa seseorang seperti Alif mau berteman dengan si culun, Wawan?

 

Pagi hari saat di sekolah.

“We battala! Uang mu dulue, sedikit ji. Rp.20.000 mo”

Teriak Agus dari jauh, ditemani dengan teman segerombolannya.

“Saya?”

Tanya Wawan.

“Bukan… nassami kau! Siapa memang kalau bukan kau kah? Hahahaha”

“Cepat ko! Uang mu!”

“Deh, berapa ji ku bawa uang ini, kak. Rp.30.000 ji”

“Edede… alay ko. Masih ada ji sisanya Rp.10.000”

“Deh Kak… berapa ji itu jalangkote didapat”

Balas Wawan.

“Kasi ka 20 mu atau ku suruh ko juga belikan ka jalangkote?!”

Paksa Agus.

Agus mulai merebut uang Wawan dari saku seragamnya, dengan 2 teman lainnya menahan kedua tangan Wawan.

“Kak, jangan ki dule!”

“Kak! Kak!”

Saku seragam Wawan mulai robek akibat tarikan Agus.

“Nah, begini kek. Sudah mi. Pergi meko!”

Kedua teman Agus melepaskan Wawan dan mendorongnya.

Perlakuan seperti itu sudah tak jarang lagi Wawan dapatkan. Wawan lalu melanjutkan langkahnya menuju kelasnya. Wawan berada di kelas berbeda dengan Alif. Hal itu membuat Wawan merasa tak nyaman berada di kelasnya sendiri.

 

Waktu sore tiba, sekolah telah usai. Adzan sholat ashar berkumandang.

Allahuakbar Allahuakbar!”

“Wan!”

Panggil Alif.

“Eh, Alif. Ayo mi ke Masjid!”

Ajak Wawan.

“Bah, ayo mi!”

Usai sholat ashar, Alif dan Wawan berjalan berdua kembali ke asrama.

“Eh, Wan. Kenapa robek itu kantong seragam mu?”

“Eh, oh. Anu, jatuh ka tadi. Becek to”

“Hah? Apanya becek? Nda hujan ji tadi”

“Eh, nda. Jatuh di tangga ka maksudnya”

Wawan beralasan.

“Jatuh di tangga? Serius?”

Alif menyelidiki.

“Iya, serius”

Wawan berusaha percaya diri.

“Ededeh… Kak Agus sede?

“Huft… iya. Nda ku tau juga kenapa ka selalu salah di matanya itu anak. Nda di sekolah, asrama, apalagi rumah, pasti selalu saja na ganggu atau tidak, na diami ka”

“Tapi di rumah ada ji ajak ko bicara to?”

“Jujur, nda ada. Paling sama Ayah ku ji. Itu pun dia sibuk terus. Kadang bahkan berangkat kerja pagi – pagi, pulang juga pagi – pagi. Ibu nya Kak Agus juga nda na suka ka kapang. Kalau dihitung – hitung, paling sekali dua kali ja bicara. Selebihnya paling dimarahi ka”

Wawan mengeluh.

“Astaga, sorry nah, Wan. Baru ku tau”

“Nda apa apa ji. Terbiasa ma juga”

“Sejak cerai orang tua ku, nda pernah ku rasa baik – baik hidupku. Terus tiba – tiba Ayahku menikah lagi. Awalnya ku kira Ibunya Kak Agus orangnya baik, ternyata salah besar ka. Sedikit – sedikit marah, bahkan kadang sampai main fisik”

Tambah Wawan.

“Kapan – kapan kalau nda nyaman ko di rumahmu, ke rumah meko saja. Baik ji orang tuaku, terima tamu ji.”

“Deh, nda ji deh. Nda enak ka”

“Deh, nda ji kapang. Kabari ma saja kalau memang mau ko”

“Iyo pale deh”

“Pokoknya kalau kenapa – kenapa ko, panggil ma saja. Nda sibuk sibuk bagaimana ja saya”

Alif menutup pembicaran.

Alif memang dikenal dengan kemampuan meyakinkannya. Tak hanya itu, Ia juga suka menawarkan bantuan kepada orang lain.

Alif dan Wawan memang berada di kelas yang berbeda. Namun mereka kebetulan ditempatkan di kamar yang sama di asrama. Sesampainya mereka di kamar, mereka mulai saling bertukar cerita tentang pelajaran mereka di sekolah.

 

Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 17.30.

“Deh, jam berapa mi ini. Mandi deh”

Sadar Wawan.

“Astaga, iyo deh. Ayo mandi”

Balas Alif.

Mereka mengambil handuk mereka lalu menuju ke kamar mandi. Tak lama kemudian, Agus muncul.

tok tok tok

“Siapa di dalam? Lama sekali ko!”

tok tok tok

“Woi!”

tok tok tok

Karena emosi, Agus mulai memukul pintu kamar mandi yang terbuat dari besi itu.

“Woi! Apa mu bikin di dalam?! Lama ko!”

“Kak. Tabe, bisa ki nda pukul – pukul pintu? Keras sekali suaranya. Apalagi teriak – teriak ki juga”

Tegur Alif yang baru saja selesai dari mandinya.

“Lah? Kenapa ko? Ini yang di dalam seharusnya mu tegur. Dari tadi mi di kamar mandi. Lagian, sok keras mu lagi depan kakak kelas”

Balas Agus.

“Lah? Ku tanya baik baik ki ini kak”

“Kenapa ko kah? Hah?! Mau ko berkelahi?!”

Agus bertambah emosi.

“Nda ada ji mau berkelahi kak”

“Iyo tapi kau kelihatan kayak mau ko”

Tiba – tiba Wawan keluar dari kamar mandi. Ternyata, kamar mandi yang dipukul – pukul pintunya oleh Agus tadi, di dalamnya adalah Wawan.

“Astaga, ini pale battala! Lama na lagi mandi”

“Eh, kak! Jaga mulut ta!”

Tegur Alif.

“Apa? Apa mu bilang?”

Agus mendekati Alif, menatapnya.

“Sok jago ko ini? Hah?!”

“Siapa sok jago? Kita ji itu kapang”

Alif tak ingin mengalah.

“Eh, sudah mi. sudah, sudah!”

Wawan membela.

Makin lama, mereka makin ribut. Orang – orang berkumpul melihat mereka beradu mulut. Baru saja Agus ingin melakukan pukulan pertama, tiba – tiba saja seseorang menahannya dari belakang.

“We sudah, sudah! Adek kelas ini Agus!”

Tegur Fauzan, teman sebaya Agus.

“Sudah mi, sudah!”

Tegur Wawan.

“Ku tunggu ko nanti kau!”

Agus mengakhiri pertengkaran.

Alif tak berkata apa – apa setelah kejadian itu. Karena merasa emosi, dia memilih untuk diam. Wawan yang dari tadi bertanya – tanya penyebab kejadian itu hanya terdiami.

 

Wawan selesai berpakaian lebih dahulu. Ia memustuskan untuk ke Masjid duluan

“Lif, duluan ka ke Masjid nah”

“Eh, tunggu ma. Mau ma selesai pakaian ini. Buru – buru ko?”

Tanya Alif.

“Nda ji”

Balas Wawan.

“Cepat ko pale. Mau mi adzan”

Tambah Wawan.

Wawan merasa lega, akhirnya pertanyaannya dijawab.

Sama seperti sekolah dan asrama, Masjid yang mereka tempati berada di kawasan yang sama. Tak cukup 5 menit berjalan dari asrama, sudah tiba di Masjid.

 

Keesokan hari di sekolah.

Hari ini Wawan sendiri lagi berangkat ke sekolah. Akhir – Akhir ini, Alif sering kelamaan mandi. Jadi Wawan memutuskan untuk berangkat duluan.

Sesampainya di sekolah.

“Awwah, ada mi sede”

Wawan panik.

Terlihat Agus dari jauh yang sedang menunggu kedatangan Wawan.

“Ditagih ma sede”

Wawan mulai berjalan pelan dan sesuai dugaannya, Agus memanggilnya.

“Oi! Battala! Sini ko!”

Panggil Agus. Kali ini, dia menunggu dengan sendirinya.

“Rp.15.000 mo. Cepat ko!”

“Deh… Rp.20.000 ji ku bawa, kak”

“Masih ada ji sisanya Rp.5.000 to?”

“Tapi, kak..”

“Nda ada tapi – tapi. Sini mi, sebelum ku paksa ko lagi”

Wawan terdiam sejenak. Jika ia memberikan uang jajan nya kepada Agus sebanyak itu, bisa saja Ia makan di kantin lebih sedikit dari kemarin dan tak cukup untuk membuatnya kenyang.

“Sini!”

“Kak..”

Wawan mulai merasa emosi.

“Sini!”

“… Ini pale kak”

Baru saja Agus ingin mengambil uang jajan milik Wawan, tiba – tiba Wawan dengan tangan erat memukul muka Agus dengan sangat keras. Agus terkejut. Namun tentu, tak cukup satu pukulan saja untuk menghentikannya. Wawan menyadari amarah Agus. Tak perlu berpikir lama, Wawan lalu mundur perlahan dan berlari menghindari sebelum Agus melakukan sesuatu.

“Hahahahah. Bajingan!”

Agus lalu mulai mengejar Wawan.

Awwah, apa ku bikin tadi itu. Na kejar ma pasti ini, nda mungkin tidak!

Mati ma ini!

Wawan terus berlari hingga sampai di asrama

Harus ka sembunyi!

Wawan memutuskan untuk bersembunyi di kamar mandi asrama.

“Mana ko?!”

Asrama telah sunyi. Semua orang telah meninggalkan asrama, menuju ke sekolah. Wawan merasa panik. Seragamnya dibasahi keringat. Tiba – tiba Wawan tak sengaja menendang ember yang berada di depan kamar mandi, guna untuk membooking antrian kamar mandi. Tendangan itu terdengar jelas oleh Agus.

“Oalah, di situ ko pale! Hahah”

Wawan lalu bergegas bersembunyi di kamar mandi. Menutup pintunya dengan mengganjalkan batu yang besar.

Agus telah berada di selasar kamar mandi. Ia melihat ada kamar mandi yang tertutup pintunya. Menyadari dengan jelas bahwa Wawan berada di dalamnya.

“Di sini ko pale!”

“Keluar ko! Woi! Keluar ko!”

Agus mulai memukul pintu kamar mandi.

“Woi bajingan! Keluar ko!”

Wawan merasa tambah panik. Ia mencoba untuk memanjat ke kamar mandi sebelah. Sayangnya, sangat susah baginya dengan postur tubuhnya yang kurang tinggi.

DUAR!

Pintu kamar mandi berhasil dibuka Agus. Wawan terjatuh.

“BAJINGAN!”

BUK BUK BUK

Wawan pasrah.

BUK BUK BUK

Agus tak kunjung berhenti memukul. Melampiaskan amarahnya.

BUK BUK BUK

Darah mulai megalir.

“H-H-Hah?”

Agus terkejut. Tak percaya apa yang sedang Ia lihat. Tangannya telah berlumuran darah.

Wawan terbaring di kamar mandi. Seragam putih miliknya ternodai darah. Tak bernyawa.

K-K-Kenapa bisa sampai begini?!

Agus tak sanggup melihat kondisi adik tirinya itu. Lalu dia memutuskan untuk kabur.

Apa sudah ku bikin?!

Agus berjalan cepat menuju ke kamar mandi sekolah untuk membersihkan tangannya yang berlumuran darah itu. Berusaha agar tidak terlihat mencurigakan.

BRUK

“Aduh!”

“Eh, ustadz..”

Tak sengaja, Agus menabrak Ustadz Sulaiman yang sedang berjalan ke asrama.

“Hati – hati ki kalau jalan nak”

“I-Iye ustadz..”

“Eh, kenapa tangan ta itu? Kenapa bisa berdarah?”

“E-Eh… n-nda ustadz.. jatuh ka tadi”

“Ohh.. pelan – pelan ki kalau jalan nak”

“Iye ustadz..”

Agus melanjutkan jalannya.

 

Beberapa hari setelah kejadian, Agus telah dinyatakan bersalah atas kematian Wawan, membuatnya didrop out dari sekolah. Tubuh Wawan yang telah ditemukan di kamar mandi asrama oleh Ustadz Sulaiman sendiri. Perlakuan Agus makin terbukti jelas dari tetesan darah di lantai yang berasal dari kamar mandi asrama, ditambah lagi ketika Ustadz Sulaiman berpapasan dengan Agus yang terlihat cemas dengan tangannya yang berlumuran darah di koridor. Orang tua Agus dan Wawan terkejut, sekaligus sedih mendengar kabar tersebut. Sementara Alif, tertinggal dengan penyesalannya karena tidak berada di sisi sahabatnya di saat kematiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar