Boarding
Story #36
Seragam Merah
“Alif!”
tok tok tok
“Alif!”
tok tok tok
“We Alif! Lama sekali
ko!”
Sudah sekitar
20 menit lebih, Alif tak kunjung selesai dari mandinya.
“Tunggu ma! 5
menit lagi!”
“Edede dari tadi itu terus ji mu bilang!”
Desak Wawan.
“Iyo cak,
tunggu ma!”
Balas Alif.
Suasana seperti
ini bisa dibilang suasana yang sudah tidak asing lagi. Apalagi, menjelang waktu
sholat maghrib. Orang – orang berebut antrian kamar mandi agar bisa secepatnya
menuju ke masjid. Adu mulut, bahkan ada saja yang sampai beradu pukulan demi
merebut antrian.
10 menit
berlalu, akhirnya Alif keluar dari kamar mandi.
“Nah, begitu.
Kenapa memang lama sekali ko mandi? Mandi mau setengah jam kapang. Apa mentong
mu bikin? Curiga ka saya”
Wawan menyelidiki.
“Sembarang tong
na bilang ine. Orang kalau mandi harus bersih, sebersih – bersihnya pokoknya”
“Apa tong.
Sudah mi deh, sana meko! Mau ka mandi”
“Deh, ngapamie”
“Allahuakbar Allahuakbar!”
“Allahuakbar Allahuakbar!”
Adzan maghrib
telah berkumandang.
“We, ayo mi!”
Alif memanggil.
“Tunggu ka!”
Balas Wawan.
Alif memang
dikenal dengan sifat alimnya. 5 waktunya yang tak pernah bolong dan rajin
bersedekah. Ditambah lagi, Ia memiliki hafalan Al-Qur’an yang cukup banyak. Selain
alim, Alif juga dikenal sebagai orang yang friendly
ke orang lain. Ia mampu terbuka dan meyakinkan orang sekitarnya. Alif juga
dikenal di kalangan guru. Sifatnya yang begitu ramah, sopan dan beradab di
hadapan guru. Namun, di samping semua itu, ada satu kelemahan yang dimiliki Alif,
yaitu pelajaran non akademik atau olahraga. Seringkali Alif diajak teman –
temannya untuk bermain futsal, tetapi justru Alif selalu menolak dan lebih
memilih untuk belajar atau pun memurojaah hafalannya.
Sementara
Wawan, dikenal dengan kekurangannya. Ia seringkali diolok – olok oleh teman –
temannya karena postur badannya yang begitu pendek dan agak gemuk. Membuat
Wawan seringkali menjadi bahan tawaan teman – temannya. Bahkan, saat di kantin
saja, terkadang Wawan kehilangan nafsu makannya karena dijauhi dan ditertawakan
teman – temannya. Namun dibalik kekurangannya itu, Wawan justru menguasai
pelajaran di bidang akademik. Tak jarang, teman – temannya meminta contekan
kepadanya, namun justru Wawan selalu saja menolak. Orang yang merupakan pemeran
utama atas penindasan Wawan, ialah kakak tirinya sendiri, Agus. Agus beda umur
satu tahun dengan Wawan. Agus seringkali kesal atas kehadiran adik tirinya itu.
Entah itu di sekolah, mau pun di rumah.
Alif dan Wawan
memang dua orang yang sangat berbeda, apalagi si Wawan yang sering mendapatkan olokan
dari teman – temannya. Namun tentu, Alif tak akan membiarkan hal itu terjadi
pada sahabatnya. Beberapa kali Alif membela sahabatnya itu. Hal ini membuat
teman – teman mereka yang lain bingung, mengapa bisa seseorang seperti Alif mau
berteman dengan si culun, Wawan?
Pagi hari saat
di sekolah.
“We battala!
Uang mu dulue, sedikit ji. Rp.20.000 mo”
Teriak Agus
dari jauh, ditemani dengan teman segerombolannya.
“Saya?”
Tanya Wawan.
“Bukan… nassami
kau! Siapa memang kalau bukan kau kah? Hahahaha”
“Cepat ko! Uang
mu!”
“Deh, berapa ji
ku bawa uang ini, kak. Rp.30.000 ji”
“Edede… alay
ko. Masih ada ji sisanya Rp.10.000”
“Deh Kak…
berapa ji itu jalangkote didapat”
Balas Wawan.
“Kasi ka 20 mu
atau ku suruh ko juga belikan ka jalangkote?!”
Paksa Agus.
Agus mulai
merebut uang Wawan dari saku seragamnya, dengan 2 teman lainnya menahan kedua
tangan Wawan.
“Kak, jangan ki
dule!”
“Kak! Kak!”
Saku seragam
Wawan mulai robek akibat tarikan Agus.
“Nah, begini
kek. Sudah mi. Pergi meko!”
Kedua teman
Agus melepaskan Wawan dan mendorongnya.
Perlakuan
seperti itu sudah tak jarang lagi Wawan dapatkan. Wawan lalu melanjutkan
langkahnya menuju kelasnya. Wawan berada di kelas berbeda dengan Alif. Hal itu
membuat Wawan merasa tak nyaman berada di kelasnya sendiri.
Waktu sore
tiba, sekolah telah usai. Adzan sholat ashar berkumandang.
“Allahuakbar Allahuakbar!”
“Wan!”
Panggil Alif.
“Eh, Alif. Ayo
mi ke Masjid!”
Ajak Wawan.
“Bah, ayo mi!”
Usai sholat
ashar, Alif dan Wawan berjalan berdua kembali ke asrama.
“Eh, Wan. Kenapa
robek itu kantong seragam mu?”
“Eh, oh. Anu,
jatuh ka tadi. Becek to”
“Hah? Apanya
becek? Nda hujan ji tadi”
“Eh, nda. Jatuh
di tangga ka maksudnya”
Wawan
beralasan.
“Jatuh di
tangga? Serius?”
Alif
menyelidiki.
“Iya, serius”
Wawan berusaha
percaya diri.
“Ededeh… Kak Agus
sede?
“Huft… iya. Nda
ku tau juga kenapa ka selalu salah di matanya itu anak. Nda di sekolah, asrama,
apalagi rumah, pasti selalu saja na ganggu atau tidak, na diami ka”
“Tapi di rumah
ada ji ajak ko bicara to?”
“Jujur, nda
ada. Paling sama Ayah ku ji. Itu pun dia sibuk terus. Kadang bahkan berangkat
kerja pagi – pagi, pulang juga pagi – pagi. Ibu nya Kak Agus juga nda na suka
ka kapang. Kalau dihitung – hitung, paling sekali dua kali ja bicara.
Selebihnya paling dimarahi ka”
Wawan mengeluh.
“Astaga, sorry
nah, Wan. Baru ku tau”
“Nda apa apa
ji. Terbiasa ma juga”
“Sejak cerai
orang tua ku, nda pernah ku rasa baik – baik hidupku. Terus tiba – tiba Ayahku
menikah lagi. Awalnya ku kira Ibunya Kak Agus orangnya baik, ternyata salah
besar ka. Sedikit – sedikit marah, bahkan kadang sampai main fisik”
Tambah Wawan.
“Kapan – kapan
kalau nda nyaman ko di rumahmu, ke rumah meko saja. Baik ji orang tuaku, terima
tamu ji.”
“Deh, nda ji
deh. Nda enak ka”
“Deh, nda ji
kapang. Kabari ma saja kalau memang mau ko”
“Iyo pale deh”
“Pokoknya kalau
kenapa – kenapa ko, panggil ma saja. Nda sibuk sibuk bagaimana ja saya”
Alif menutup
pembicaran.
Alif memang
dikenal dengan kemampuan meyakinkannya. Tak hanya itu, Ia juga suka menawarkan
bantuan kepada orang lain.
Alif dan Wawan
memang berada di kelas yang berbeda. Namun mereka kebetulan ditempatkan di
kamar yang sama di asrama. Sesampainya mereka di kamar, mereka mulai saling
bertukar cerita tentang pelajaran mereka di sekolah.
Tak terasa, waktu
telah menunjukkan pukul 17.30.
“Deh, jam
berapa mi ini. Mandi deh”
Sadar Wawan.
“Astaga, iyo
deh. Ayo mandi”
Balas Alif.
Mereka
mengambil handuk mereka lalu menuju ke kamar mandi. Tak lama kemudian, Agus
muncul.
tok tok tok
“Siapa di
dalam? Lama sekali ko!”
tok tok tok
“Woi!”
tok tok tok
Karena emosi,
Agus mulai memukul pintu kamar mandi yang terbuat dari besi itu.
“Woi! Apa mu
bikin di dalam?! Lama ko!”
“Kak. Tabe,
bisa ki nda pukul – pukul pintu? Keras sekali suaranya. Apalagi teriak – teriak
ki juga”
Tegur Alif yang
baru saja selesai dari mandinya.
“Lah? Kenapa
ko? Ini yang di dalam seharusnya mu tegur. Dari tadi mi di kamar mandi. Lagian,
sok keras mu lagi depan kakak kelas”
Balas Agus.
“Lah? Ku tanya
baik baik ki ini kak”
“Kenapa ko kah?
Hah?! Mau ko berkelahi?!”
Agus bertambah
emosi.
“Nda ada ji mau
berkelahi kak”
“Iyo tapi kau
kelihatan kayak mau ko”
Tiba – tiba
Wawan keluar dari kamar mandi. Ternyata, kamar mandi yang dipukul – pukul
pintunya oleh Agus tadi, di dalamnya adalah Wawan.
“Astaga, ini
pale battala! Lama na lagi mandi”
“Eh, kak! Jaga
mulut ta!”
Tegur Alif.
“Apa? Apa mu
bilang?”
Agus mendekati
Alif, menatapnya.
“Sok jago ko
ini? Hah?!”
“Siapa sok
jago? Kita ji itu kapang”
Alif tak ingin
mengalah.
“Eh, sudah mi.
sudah, sudah!”
Wawan membela.
Makin lama,
mereka makin ribut. Orang – orang berkumpul melihat mereka beradu mulut. Baru
saja Agus ingin melakukan pukulan pertama, tiba – tiba saja seseorang
menahannya dari belakang.
“We sudah,
sudah! Adek kelas ini Agus!”
Tegur Fauzan,
teman sebaya Agus.
“Sudah mi,
sudah!”
Tegur Wawan.
“Ku tunggu ko
nanti kau!”
Agus mengakhiri
pertengkaran.
Alif tak
berkata apa – apa setelah kejadian itu. Karena merasa emosi, dia memilih untuk
diam. Wawan yang dari tadi bertanya – tanya penyebab kejadian itu hanya terdiami.
Wawan selesai
berpakaian lebih dahulu. Ia memustuskan untuk ke Masjid duluan
“Lif, duluan ka
ke Masjid nah”
“Eh, tunggu ma.
Mau ma selesai pakaian ini. Buru – buru ko?”
Tanya Alif.
“Nda ji”
Balas Wawan.
“Cepat ko pale.
Mau mi adzan”
Tambah Wawan.
Wawan merasa
lega, akhirnya pertanyaannya dijawab.
Sama seperti
sekolah dan asrama, Masjid yang mereka tempati berada di kawasan yang sama. Tak
cukup 5 menit berjalan dari asrama, sudah tiba di Masjid.
Keesokan hari
di sekolah.
Hari ini Wawan
sendiri lagi berangkat ke sekolah. Akhir – Akhir ini, Alif sering kelamaan
mandi. Jadi Wawan memutuskan untuk berangkat duluan.
Sesampainya di
sekolah.
“Awwah, ada mi
sede”
Wawan panik.
Terlihat Agus
dari jauh yang sedang menunggu kedatangan Wawan.
“Ditagih ma
sede”
Wawan mulai
berjalan pelan dan sesuai dugaannya, Agus memanggilnya.
“Oi! Battala!
Sini ko!”
Panggil Agus.
Kali ini, dia menunggu dengan sendirinya.
“Rp.15.000 mo.
Cepat ko!”
“Deh… Rp.20.000
ji ku bawa, kak”
“Masih ada ji
sisanya Rp.5.000 to?”
“Tapi, kak..”
“Nda ada tapi –
tapi. Sini mi, sebelum ku paksa ko lagi”
Wawan terdiam
sejenak. Jika ia memberikan uang jajan nya kepada Agus sebanyak itu, bisa saja
Ia makan di kantin lebih sedikit dari kemarin dan tak cukup untuk membuatnya
kenyang.
“Sini!”
“Kak..”
Wawan mulai
merasa emosi.
“Sini!”
“… Ini pale
kak”
Baru saja Agus
ingin mengambil uang jajan milik Wawan, tiba – tiba Wawan dengan tangan erat
memukul muka Agus dengan sangat keras. Agus terkejut. Namun tentu, tak cukup
satu pukulan saja untuk menghentikannya. Wawan menyadari amarah Agus. Tak perlu
berpikir lama, Wawan lalu mundur perlahan dan berlari menghindari sebelum Agus
melakukan sesuatu.
“Hahahahah.
Bajingan!”
Agus lalu mulai
mengejar Wawan.
Awwah, apa ku bikin tadi itu. Na kejar ma pasti ini,
nda mungkin tidak!
Mati ma ini!
Wawan terus
berlari hingga sampai di asrama
Harus ka sembunyi!
Wawan
memutuskan untuk bersembunyi di kamar mandi asrama.
“Mana ko?!”
Asrama telah
sunyi. Semua orang telah meninggalkan asrama, menuju ke sekolah. Wawan merasa
panik. Seragamnya dibasahi keringat. Tiba – tiba Wawan tak sengaja menendang
ember yang berada di depan kamar mandi, guna untuk membooking antrian kamar mandi. Tendangan itu terdengar jelas oleh
Agus.
“Oalah, di situ
ko pale! Hahah”
Wawan lalu
bergegas bersembunyi di kamar mandi. Menutup pintunya dengan mengganjalkan batu
yang besar.
Agus telah
berada di selasar kamar mandi. Ia melihat ada kamar mandi yang tertutup
pintunya. Menyadari dengan jelas bahwa Wawan berada di dalamnya.
“Di sini ko
pale!”
“Keluar ko!
Woi! Keluar ko!”
Agus mulai
memukul pintu kamar mandi.
“Woi bajingan!
Keluar ko!”
Wawan merasa
tambah panik. Ia mencoba untuk memanjat ke kamar mandi sebelah. Sayangnya,
sangat susah baginya dengan postur tubuhnya yang kurang tinggi.
DUAR!
Pintu kamar
mandi berhasil dibuka Agus. Wawan terjatuh.
“BAJINGAN!”
BUK BUK BUK
Wawan pasrah.
BUK BUK BUK
Agus tak
kunjung berhenti memukul. Melampiaskan amarahnya.
BUK BUK BUK
Darah mulai
megalir.
“H-H-Hah?”
Agus terkejut.
Tak percaya apa yang sedang Ia lihat. Tangannya telah berlumuran darah.
Wawan terbaring
di kamar mandi. Seragam putih miliknya ternodai darah. Tak bernyawa.
K-K-Kenapa bisa sampai begini?!
Agus tak
sanggup melihat kondisi adik tirinya itu. Lalu dia memutuskan untuk kabur.
Apa sudah ku bikin?!
Agus berjalan
cepat menuju ke kamar mandi sekolah untuk membersihkan tangannya yang
berlumuran darah itu. Berusaha agar tidak terlihat mencurigakan.
BRUK
“Aduh!”
“Eh, ustadz..”
Tak sengaja,
Agus menabrak Ustadz Sulaiman yang sedang berjalan ke asrama.
“Hati – hati ki
kalau jalan nak”
“I-Iye
ustadz..”
“Eh, kenapa
tangan ta itu? Kenapa bisa berdarah?”
“E-Eh… n-nda
ustadz.. jatuh ka tadi”
“Ohh.. pelan –
pelan ki kalau jalan nak”
“Iye ustadz..”
Agus
melanjutkan jalannya.
Beberapa hari
setelah kejadian, Agus telah dinyatakan bersalah atas kematian Wawan,
membuatnya didrop out dari sekolah.
Tubuh Wawan yang telah ditemukan di kamar mandi asrama oleh Ustadz Sulaiman
sendiri. Perlakuan Agus makin terbukti jelas dari tetesan darah di lantai yang
berasal dari kamar mandi asrama, ditambah lagi ketika Ustadz Sulaiman
berpapasan dengan Agus yang terlihat cemas dengan tangannya yang berlumuran
darah di koridor. Orang tua Agus dan Wawan terkejut, sekaligus sedih mendengar
kabar tersebut. Sementara Alif, tertinggal dengan penyesalannya karena tidak
berada di sisi sahabatnya di saat kematiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar